ASHALINE menelusuri koridor dengan langkah gontai. Mendadak, perasaan sedih itu kembali hadir. Ashaline menunduk dalam-dalam, entah mengapa ia merasa sedikit berdosa karena berpura-pura seperti tak ada apa-apa didepan Papanya, padahal saat ini ia tengah rapuh.
Namun, Ashaline tahu ia adalah gadis kuat. Ia tak akan melibatkan siapa pun dalam masalahnya ini. Bukankah sudah ada semboyannya?
Berani jatuh cinta, berarti berani patah hati.
Dan tanpa sadar, cairan bening itu mengalir dengan cepatnya melalui ujung matanya. Sakit. Begitulah perasaannya saat ini. Ia merasa hampa, dan kecewa. Teramat sangat.
BRUK!
Ashaline kaget saat ia tak sadar menabrak punggung seseorang. Gadis itu tak berani menegakkan kepalanya, ia terus saja menunduk. Sesaat, ia tersadar. Lelaki yang ditabraknya ini, mempunyai sepatu yang sangat familiar dimata Ashaline.
Detik berikutnya, jantung Ashaline berpompa sepuluh kali lebih cepat dari biasanya. Ashaline merasa sangat gugup, cemas dan gemetar. Ia tak kuat.
Namun, baru saja ia hendak melangkah sebuah tangan milik lelaki itu lebih dulu memegang pergelangan tangannya.
Ashaline beku ditempat. Tak sanggup berkata-kata. Lidahnya terasa begitu kelu. Suaranya seperti tercekat. Rupanya kehadiran lelaki itu memberikan efek yang begitu besar akan kondisi Ashaline.
Aku harus apa..?
"We must talking." ucap lelaki itu datar.
Seakan lelaki itu mendengar pertanyaannya barusan. Ashaline hanya diam tak bergeming. Tak tahu harus berbicara apa.
Sejujurnya, saat ini perasaannya tengah berkecamuk. Sedih, gundah, cemas, kesal, kecewa, marah, semuanya bercampur menjadi satu.
"Kamu mendengarku, Alnaira?"
Untuk sesaat, Ashaline tertegun. Ia tak menyangka bahwa lelaki itu masih memanggilnya Alnaira. Mendadak saja perasaannya tiba-tiba menghangat.
Aku merindukanmu, Alan. Kau mendengarku?
"Aira, aku--" baru saja Alan hendak melanjutkan ucapannya, namun suara bel lebih dulu menghentikannya.
Ashaline menghela napas lega. Akhirnya malaikat telah menolongnya untuk keluar dari zona kecanggungan tersebut.
Alan melepas pegangan tangannya. Ia menatap Ashaline yang masih setia menunduk dihadapannya. Tangan Alan tergerak untuk meraih pucuk kepala Ashaline, namun buru-buru dibatalkannya.
Sorot mata lelaki teduh itu menyiratkan sebuah kerinduan yang teramat sangat. Namun, ada sebuah hal yang membuatnya harus melakukan hal itu. Untuk kebaikannya dan kebaikan gadis yang dicintainya.
"Sudah bel. Silahkan masuk kekelas."
Setelah berkata itu, Alan berjalan meninggalkan Ashaline yang masih mematung ditempatnya. Setelah dirasanya lelaki itu sudah pergi, baru ia mengangkat kepalanya.
Ia mengamati langkah Alan yang semakin menjauh. Perasaannya kembali berkecamuk. Dadanya terlihat turun naik, berusaha menahan rasa sesak yang terus menyerangnya.
Tidakkah kau merindukanku barang sedikitpun, wahai lelaki bermuka datar?
*
Bel tanda pulang berbunyi dengan lantangnya, membuat seluruh siswa siswi bersorak kegirangan. Aktivitas yang awalnya fokus pada materi yang tengah dijelaskan oleh guru, menjadi terhenti dan dengan cepat seluruh siswa siswi memasukkan berbagai alat tulis dan buku kedalam tas.
KAMU SEDANG MEMBACA
ASHALINE
Teen FictionKisah ini akan menceritakan tentang kedekatan seorang ayah dengan anak perempuannya. Bagaimana mereka saling mengisi layaknya teman, sahabat, ayah, ibu dan semuanya terpadu menjadi satu.