Bab 4

7 1 0
                                    

"Bagaimana sekolahmu hari ini, nak?"
"Tidak begitu buruk. Tapi juga tidak sebaik itu." Aray tampak menjawab dengan sikap cueknya. Terlihat dia masih kesal dan belum bisa menerima keputusan sepihak ayahnya yang memutuskan pindah rumah. Alih-alih pindah rumah ke tempat yang lebih maju, ini benar-benar tempat yang tidak pantas disebut sebagai tujuan migrasi.
"Aray, ayah tahu kamu belum bisa menerima keputusan ayah. Tapi ayah harap kamu bisa perlahan belajar menerima keputusan ini. Ayah yakin kelak kamu bisa paham. "

Aray memandang wajah ayahnya yang tampak lelah dan penuh harap untuk memohon pengertian Aray. Aray memahami itu. Ayahnya sangat menyayanginya. Arah menghembuskan nafas lelahnya akan kondisi ini. Berhari-hari mereka masih berdebat akan masalah yang sama. Jujur itu melelahkan.

"Baiklah, Aray akan mencoba menikmati kehidupan Aray di sini. Semoga ada hal baik yang bisa Aray temukan di sini, Yah." Aray mencoba mengembangkan senyumnya untuk sang ayah. Dan si ayah tersenyum mendengarnya. Semoga saja keputusan mereka tidak salah.

___________________________________

Tak terasa sudah satu minggu lebih Aray bersekolah di sekolah barunya dan semua berjalan dengan baik, walau mungkin terkadang terasa membosankan untuk Aray. Hari ini sperti biasa dia menaruh tasnya di bangku. Tapi hal yang membuatnya kaget ada tas lain di sisi bangkunya. Hey, tas siapa ini? Aray bertanya-tanya dalam hatinya. Namun tak urung dia cuek dan pergi terlebih dahulu ke kantin untuk membeli sarapan.

Bel berbunyi. Dengan langkah santai, dia berjalan menuju kelasnya. Langkah Aray terhenti ketika dia akan berbelok menuju ke bangkunya yang berada di deret ke tiga barisan samping jendela. Memperhatikan wajah teman-teman kelasnya, terutama yang berjenis kelamin perempuan, mereka terlihat memandang tidak suka ke Aray. Namun Aray sudah kebal dan memilih mengabaikannya.

Kembali melihat ke arah bangkunya. Ya, itu betul bangkunya. Tapi kok ada sesosok laki-laki yang duduk di sebelah kursinya. Aray tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas karena laki-laki itu sedang menidurkan kepalanya dengan bertumpu lengannya di atas meja. Perawakannya terlihat berbeda dari teman-temannya kebanyakan di sini yang cenderung dekil dan lusuh. Laki-laki itu terlihat sama dengan dirinya. Dari kulitnya yang putih bersih. Ditambah ketika Aray berjalan mendekat dan sudah di samping mejanya, bisa dilihat lebih jelas perawakan laki-laki itu yang tinggi dan badannya yang bagus. Jelas sekali laki-laki itu betul-betul menjaga badannya dan rajin berolahraga.

Perlahan-lahan Aray duduk di bangkunya. Dengan masih mengernyitkan dahinya memandang aneh teman sebangkunya itu, Aray tidak berniat mengganggunya atau sekadar membangunkannya. Aray hanya merasa asing pada sosok itu. Seminggu lebih bersekolah di sekolah barunya, Aray sudah cukup hafal teman-teman sekelasnya dan tidak pernah sekalipun dilihatnya orang yang di sebelahnya ini. Apa dia murid baru?

Perlahan sosok yang diperhatikan Aray diam-diam itu bangun. Sosok itu walaupun terlihat tidur tapi dia mempunyai insting yang sangat peka. Dia sedari tadi sudah merasa kalo Aray memandangnya aneh, tapi dia mengabaikannya. Dan karna Aray masih memperhatikannya, laki-laki itu memilih bangun dari tidurnya dan langsung memandang tajam ke Aray.

Aray seketika gelagapan tapi tak lama kemudian dia bisa mengontrol mimiknya kembali ke datar. Mencoba untuk menemukan jawaban dari rasa penasarannya. Aray bertanya to the point. "Siapa kamu? Kenapa duduk di sini? Aku tidak suka berbagi bangku dengan orang yang tidak kukenal."

Lelaki itu seketika menyipitkan matanya. Hell, he looks so charming and handsome. Tapi bukan itu poinnya. Aray seperti pernah melihat sosok laki-laki itu. Tapi, entahlah. Dia terlihat penuh kharisma dan seketika aura dingin menguar darinya. "Siapa kamu beraninya mengusirku dari bangkuku sendiri", desisnya tajam. Dan seketika dia langsung berdiri meninggalkan kelas bertepatan dengan guru yang akan mengajar. Guru itu terlihat terkejut tapi tidak berniat mencegahnya keluar. Aray merasa heran, bukankah seharusnya guru itu mencegahnya atau bahkan memarahinya?

___________________________________

"Aray.... " Bel istirahat sudah berbunyi dan Santin datang menghampiri bangkuku. Dia terlihat cemas. "Apa kamu baik-baik saja? "

Aku mengernyitkan dahi seolah itu pertanyaan yang tak perlu dijawab. "Ya, aku baik-baik saja. Ada apa?"

"Kamu tahu? Aku dan Kitak sedari tadi mengawasimu. Itu tadi teman sebangkumu si Troi. Tidak seharusnya kamu memperlakukannya begitu. Di sekolah ini tidak ada yang berani padanya. Dia itu seperti penguasa di sekolah ini." Santin berbicara panjang kali lebar dengan raut cemasnya. Sementara Aray hanya memasang raut datarnya yang sesekali terlihat berpikir.

"Troi? Siapa itu? Aku baru mendengar namanya."

"Aduh, yang benar saja. Aku dulu sudah pernah menceritakannya dan kau melupakannya begitu saja??" Kitak yang baru datang dari toilet terlihat gemas mendengar respon Aray itu.

Aray terlihat berpikir dan samar-samar dia ingat kalau Kitak pernah memberitahunya bahwa ini memang bangku Troi dan sekarang dia paham, kenapa siswi-siswi yang ada di kelasnya terlihat memandangnya tidak suka berada di bangku itu. Mungkin mereka fans Troi yang merasa disaingi tapi Aray tidak peduli. Toh dia hanya teman sebangku.

"Hmm, lalu kenapa dia baru terlihat sekarang? Selama seminggu ini emang dia ke mana?" Aray memilih menanyakan sesuatu yang jadi pertanyaan di benaknya sejak tadi.

"Itu bukan hal baru. Troi seringkali tidak masuk sekolah entah alasan apa. Tapi guru-guru di sini tidak menegurnya karna Troi dianggap sangat berprestasi. Jadi sepanjang itu tidak menganggu pembelajaran, itu dianggap tidak masalah oleh guru-guru," Santin menjelaskan.

Aray hanya menganggukkan kepalanya dan kembali bertanya hal yang juga membuatnya penasaran. "Terus kenapa dia disebut penguasa di sekolah ini? Apa dia semacam gangster begitu?"

"Tidak. Hanya saja dia punya kharisma yang bikin kita lawannya menjadi minder seketika dan tidak bisa berkutik. Walaupun sebenarnya dia juga hanya memandang tajam dan tidak melakukan apa-apa. Tapi dia juga terkenal jago berantem misal ada orang yang mengganggunya. Dan walaupun begitu, dia tetap menjadi idola gadis-gadis di sekolah ini," Kitak tampak menjelaskannya dengan muka berbinar-binar.

Lagi-lagi Aray hanya menganggukkan kepala. Hal yang membuatnya penasaran sudah terjawab dan ya sudah, Aray tidak berniat mempertanyakan hal lainnya. Sementara Santin dan Kitak memutarkan bola mata mereka melihat respon Aray yang sesingkat itu di luar dugaan mereka.

Hantu Labirin 6 KM (Labyrinth 6 KM's Spirits)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang