Bab 3

12 1 0
                                    

"Perkenalkan! Nama saya Giaraynesia Karsonagara. Saya baru pindah dari Bandung. Saya pindah ke sini karena mengikuti pekerjaan orang tua yang dipindahtugaskan. Teman-teman bisa memanggil saya Aray".

Begitulah perkenalan singkat yang disampaikan Aray di sekolah barunya. Tentu saja, apa yang dikatakan Aray pada teman-temannya itu hanyalah alasan formalitas belaka. Tidak mungkinkan bila ia mengatakan pada teman-temannya bahwa ia pindah karena alasan mimpi ayahnya. Tapi sebenarnya itu tidak sepenuhnya salah. Karena alasan mimpi itulah, ayah Aray jadi harus bekerja di sini. Jadi bisnis yang ada di Bandung untuk sementara dia percayakan ke bawahan yang sudah menjadi tangan kanannya dan untuk beberapa hal, ayah Aray bisa mengurusnya via email. Selain itu, di daerah sini ayah Aray juga bisa lebih mempelajari dan mengembangkan bisnisnya. Maklum, bisnisnya terkait dengan produk pangan dan pertanian.

"Aray, silahkan kamu duduk di bangku yang kosong itu!" Bu Neta, wali kelas Aray mempersilahkan. Aray melihat ke bangku yang dimaksudkan oleh bu Neta. Setelah mengamati seisi ruang kelas, memang tampaknya itu satu-satunya bangku kosong di kelas ini.

Aray merasa risih. Beberapa tatapan mata terlihat sinis padanya. Terutama untuk tatapan mata kaum hawa. Mereka berbisik-bisik dengan tatapan mengarah padanya. Sepertinya mereka memang sedang membicarakannya. Tapi masa bodoh buat Aray. Toh dia juga tidak melakukan kesalahan atau sesuatu yang mengganggu mereka.

"Hai... Aku Santin", sapa salah seorang teman siswi yang duduk di belakang bangku Aray. Tampaknya dia satu-satunya anak yang masih mau beramah-tamah dengan Aray. Entah seberapa besar hati malaikat anak itu, hingga ia mau berkenalan dengan anak baru yang cuek nan dingin. Aray hanya menoleh sesaat dan menyunggingkan sedikit senyuman sambil berkata "Hai". Kemudian ia kembali ke posisi duduknya semula, fokus pada materi yang sedang disampaikan oleh bu Neta. Namun lagi-lagi walaupun sudah dicuekin seperti itu, entah karena ini anak terlalu polos atau baik, Santin masih saja menampilkan wajah happy-nya ketika Aray membalasnya dengan dingin.

Bel istirahat berbunyi. Santin langsung duduk menghampiri Aray. "Ke kantin, yuk!" Ajak Santin dengan memamerkan deretan giginya yang putih bak iklan P*psodent. "Ah, tidak... terima kasih." Aray memang sedang malas ke kantin. Ia lebih memilih menikmati istirahat di ruang kelasnya itu. Aray yang sedang asyik membaca buku, mendadak terganggu karena merasa sedang diperhatikan.

"Ada apa? Kok ngliatinnya sampai segitunya?" Aray bertanya dengan nada sedikit curiga ke arah Santin. Sementara Santin yang ditanya langsung menggelengkan kepala.

"Ahh, nggak kok. Itu ehm... ya... itu... aku cuma jarang-jarang aja melihat orang kota kayak kamu. Udah cantik, kulitnya putih, udah bak artis aja di sini"... kata-kata Santin itu terdengar hiperbolis di telinga Aray namun Aray tahu bahwa Santin mengatakannya dengan kepolosan dan terlihat tulus. Yah, mungkin itu juga alasan mengapa teman-teman sekelasnya itu terlihat sinis padanya. "Ehm, aku pingin berteman sama kamu boleh, nggak?" Santin terlihat ragu-ragu mengatakannya. Yang membuatnya lucu adalah mimik muka Santin yang terlihat polos di mata Aray. Sebenarnya Aray tidak berniat membuat ikatan di sini, termasuk pertemanan. Toh, dia merasa bahwa di sini hanyalah sementara. Rasanya tidak mungkin untuknya benar-benar menetap di sini. Ya, tapi entahlah. Semua tergantung ayahnya.

Sebenarnya Aray merasa risih ketika orang memandangnya berbeda. Seperti semacam julukan 'anak kota', fisiknya yang mungkin terlihat lebih putih bersih dan tidak dekil seperti anak desa kebanyakan, yang sehingga begitu keluar kelas, maka semua mata akan memandangnya. Ia menjadi merasa bak sorotan dan kepopuleran itu mengganggunya. Aray sudah merasa cukup aneh pindah ke lingkungan ini dan ditambah dengan orang-orang di sini yang memandang aneh keberadaannya. Jelas itu cukup mengganggunya. Aray hanya ingin menjadi siswa biasa. Tapi tak elak, Aray mengangguk juga... mengiyakan permintaan Santin. Dan Santin terlihat senang dengan tanggapan Aray yang sebenarnya terkesan jelas cuek dan singkat.

Tak berapa lama kemudian, Kitak, teman sebangku Santin kembali ke kelas. "Tin, aku cari kamu ke kantin nggak ada... e malahan masih di kelas. Tumben, nggak ke kantin?" Kitak langsung mencerocos panjang lebar begitu melihat Santin masih di kelas.

"Eh, Tak... nanti deh, ke kantinnya. Lagi asyik nih... kamu belum kenalan kan tadi? Nih mumpung lagi istirahat, kalian kenalan gih," kata Santin memperkenalkan kedua temannya itu.

Kitak menyadari bahwa ternyata Santin sedang bersama dengan anak baru tadi. "Eh ya... tadi aku sudah denger pas perkenalan tadi. Tapi kamu belum tahu namaku kan... aku Kitak," Kitak mengulurkan tangan ke Aray yang kemudian Aray sadar bahwa ia harus menghentikan kegiatan membacanya yang mulai tidak fokus akibat ulah 'teman barunya' itu dan membalas jabatan tangan Kitak.

"Eh, kamu gapapa kan, Ray? Maksudku, tentang tatapan anak-anak di kelas kita. Terutama buat kaum cewek si... kamu pasti merasa kan?" tanya Kitak dengan sedikit ragu-ragu. Sementara Santin yang menyadari pertanyaan itu langsung menoleh menunggu jawaban Aray.

"Ya, aku tahu. Mungkin itu karena aku berbeda dari kalian, bukan?! Calm, I don't mind it!" terang Aray cuek.

Sementara Santin dan Kitak yang mendengarnya hanya saling menoleh dan dengan polosnya, Santin bertanya ke Aray "Ray, yang terakhir tadi kamu ngomong apaan ya? Bahasa mana tu? Maaf, aku nggak tahu ni.... Nggak ngerti ngomong apa."

Oh, damn it! Benar saja.... bahkan untuk bahasa obrolan, Aray harus berusaha menyesuaikan diri. "Itu bahasa Inggris. Artinya, Tenang. Aku tidak terlalu memikirkannya. Emangnya di sini tidak ada bahasa Inggris-kah?" tanya Aray penasaran.

"Ooo, begitu artinya. Eh, jangan salah Ray. Ada dong. Cuma ya itu, kita masih kurang nyampe buat pemahaman sehari-harinya. Kita mah bahasa Inggrisnya masih dangkal banget. Nggak yang cas-cis-cus kayak kamu," jelas Santin. Ehm, bahkan untuk obrolan yang menurutku sederhana saja, mereka tidak mengerti. Aray membatin sambil menghela nafas. Berusaha untuk bisa bersabar dan bertahan di lingkungan barunya ini.

"Eh Ray, kembali ke obrolan kita tadi. Tadi kamu bilang karena kamu beda? Maksudnya?" tanya Kitak dengan raut bingungnya yang malah terlihat lucu.

"Ya beda. Kalian mungkin melihatku terlihat berbeda, bukan? Bukankah begitu?"

"Ehm... aku mengerti. Ya, iya sih. Tapi sebenarnya bukan karena hanya itu."

Kini giliran Aray yang tidak mengerti. Ia tampak menaikkan sebelah alisnya tanda dirinya sedang bertanya-tanya.

"Ya, itu soalnya kamu bisa sebangku sama Troi. Idola di sekolah kita. Sekolah, lho. Bukan kelas. Ingat itu, SEKOLAH!!" Kitak menjelaskan dengan nada hebohnya.

"Nah, tapi... tadi yang di bangku itu tampaknya hanya aku sendiri. Bukankah itu bangku memang kosong?" Aray menjengitkan alisnya.

"Ya itu karena Troi sedang tidak masuk sekolah. Gak tau kenapa deh. Itu anak sering banget tiba-tiba tidak masuk sekolah. Entah karena alasan apa. Tapi di absensi selalu tertulis ijin. Kita tidak ada yang tahu sebenarnya dia ijin ke mana. Troi sendiri bukan tipe orang yang suka menjelaskan. Dia terlihat cool" untuk satu kata ini, entah kenapa Kitak terlihat fasih dalam berbahasa Inggris dan itu membuat Aray merasa geli, dan Kitak pun masih melanjutkan ceritanya "apalagi Troi murid yang berprestasi di sini, jadi mungkin karena itu, dia sedikit dimaklumi dan disayang oleh para guru... Banyak siswa di sini yang ingin jadi gebetannya Troi tapi nggak digubris... makanya itu, banyak yang merasa iri sama kamu Ray..."

"Iya Ray... tapi tenang aja... anggap aja itu suatu keberuntungan bisa duduk sebangku sama Troi," tambah Santin.

Aray yang mendengarkan penjelasan itu hanya manggut-manggut. Ia tidak terlalu peduli entah siapa itu Troi.

Tapi... siapa Troi sebenarnya, ya?

Hantu Labirin 6 KM (Labyrinth 6 KM's Spirits)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang