4. Please... Don't

4.8K 424 46
                                    

Sakura tampak memijit alisnya, akhir-akhir ini banyak sekali yang membuat kepalanya pening. Kesibukannya sebagai dokter bantu dan masalah Satoshi yang berkembang terlalu pesat. Sungguh kepalanya seperti ingin meledak.

Seperti saat ia dibuat panik bukan kepalang ketika mendapati kamar rawat buah hatinya berantakan. Selang infus yang terlepas dari tiangnnya serta tiang infus yang sudah tidak berdiri ditempatnya. Belum lagi ia tak mendapati salah satu putranya yang seharusnya terbaring di bangsal pasien.

Jika saja Naruto tidak mengatakan bahwa ia melihat Satoshi berangkat ke Akademi pagi tadi, mungkin ia sudah mengamuk dan menghancurkan klinik itu.

Hey, semalam putranya hampir diculik dan dihabisi. Lalu pagi harinya kau tidak mendapati putramu yang seharusnya tertidur dibangsal, Ibu mana di dunia ini yang tidak khawatir?

"Kau tampak kacau,"

Sakura mendongak dan mendapati sosok bersurai merah bata yang tengah mengulurkan sebotol air mineral untuknya. Dengan ragu ia menerimanya, pasalnya ia masih terauma pada kejadian dimasa lalu.

"Boleh aku duduk?"

"Ya, tentu saja Gaara-sama,"

Jujur Sakura tak nyaman, tapi bagaimanapun Gaara adalah seorang Kazekage. Ia harus tetap bersikap sopan bukan?

"Mereka tumbuh dengan cepat, terutama Satoshi,"

"Anda benar,"

Jika boleh dikata, Gaara agak canggung untuk berinteraksi dengan Sakura. Terutama sikap Sakura yang juga terlampau datar. Ia akui, itu pantas dilihat bagamana kesalahan dirinya.

"Terimakasih,"

Gaara menoleh, ia agak terkejut dengan apa yang ia dengar. Terutama melihat wanita itu tersenyum lembut padanya. Cantik sekali apalagi dengan iris emerald yang jernih dan menyejukan itu.

"Aku tidak tahu apa yang akan terjadi pada Satoshi saat itu jika Anda tak ada," ujar Sakura tersenyum tulus.

"Tak masalah. Aku sudah menganggap mereka seperti Anakku sendiri, sudah kubilangkan Aku akan melindungi mereka,"

Sakura tertawa mendengarnya. Sedang Gaara menatap wanita itu bingung.

"Ada yang salah?"

"Tidak, hanya saja lucu ketika mendengar seseorang yang dulu ingin membunuh calon putra-putraku berkata demikian,"

Gaara menatap Sakura penuh sesal. "Maaf, sungguh Aku hilang kendali saat itu,"

"Ya, lagi pula itu sudah lama berlalu," Sakura tersenyum kembali berusaha menekan rasa sakit dimasa lalunya yang mulai muncul kepeermukaan. Rasanya kesal memang, tapi itu sudah berlalu dan tak dapat dikembalikan bukan? Jadi apa gunanya mendendam? Meski tetap saja masih ada perasaan tak nyaman saat bersama Gaara, ia berusaha untuk bersikap sebiasa mungkin.

Namun, Gaara melihatnya berbeda. Ia begitu tersihir oleh pesona Sakura. Wanita itu masih sangat cantik meskioun memiliki dua orang anak. Aura kecantikannya tak pernah pudar, apalagi jika Sakura tersenyum. Wajah putih bersihnya sangat lembut untuk disentuh dan mata emerald jernihnya sangat cocok dengan surai merah muda yang mulai panjang itu. Sungguh tangan Gaara sangat gatal dan ingin merasakan halusnya surai merah muda Sakura.

Gaara mengartikan semua gelagat Sakura sebagai jawaban bahwa hati wanita itu mulai terbuka untuknya. Jika seperti ini, mana mungkin ia akan menyerah?

Disaat yang bersamaan dalam anggle yang berbeda ada sosok bocah mungil yang tengah mengepalkan tangannya kuat sambil memandang mereka penuh benci.

"Cih, Kuso!"

.
.
.
..
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

The Blood of UchihaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang