6. Why?

4.4K 400 36
                                    

-"Hujan, meskipun ia berkali-kali jatuh. Ia tidak pernah menyerah,"-
.
.
.

Angin berhembus bukan tanpa makna. Awan saling menubrukan diri bukan tanpa takrif. Mentari bersinar terik bukan tanpa tafsir.

Mereka saling berkontribusi, mereka semua memiliki tujuan. Berbeda, namun memiliki substansi yang sama, menyeimbangkan kehidupan.

Satoshi tampak menikmati suasana itu, ia tengah duduk tenang pada sebuah akar pohon yang cukup besar.

Iris onyx-nya menatap jauh dipadang rumput yang dipenuhi genangan air yang mulai mengering karena teriknya matahari.

Namun, bukan genangan air itu yang menjadi focusnya. Tapi sosok mungil refleksi dirinyalah yang menjadi pusat orbit netranya.

"Ayo Nii-san! Kau payah sekali, haha.." riang sosok mungil itu yang sedang menggiring sebuah benda bulat berwarna merah.

Ia tak bergeming, ia masih menatap sosok itu dengan pandangan yang sulit diartikan.

Bruk!

Sosok yang sedari tadi menjadi perhatiannya menjatuhkan diri tepat disampingnya, ia terbaring terlentang sambil mengatur nafasnya yang tersenggal.

"Kau tampak menyukai bola itu," ujarnya tanpa memandang lawan bicaranya.

"Hehee... Ini hadiah terbaik yang pernah kumiliki, rasanya sangat spesial. Seperti merasakan pemberian dari seorang Ayah,"

Satoshi tampak terkejut mendengarnya, namun ia kembali mengubah air mukanya menjadi datar. Ia manatap kosong udara.

"Satoru,"

Sosok yang tengah berbaring itu mendongak menatapnya. "Nani?"

"Menurutmu, bagaimana jika Ibu menikah dengan orang itu,"

"Huh, siapa?"

"Itu... orang yang rambutnya berwarna merah,"

"Ooohh... Paman Gaara,"

Dalam hati Satoshi mendecih tak suka ketika mendengar adiknya memanggil orang itu dengan sebutan Paman.

"Aaa..."

Hening sejenak. Satoru bangun dari berbaringnya, ia menatap bola merah pemberian dari paman Gaara tempo lalu saat ia baru pulang dari klinik. Rasanya senang sekali.

Ia mengikuti arah pandang Kakaknya. "Entahlah, Aku memang belum terlalu nyaman dengan Paman Gaara, tapi kurasa itu tidak masalah, dia orang yang baik," ujarnya hati-hati.

Ia ingat betul saat kakanya sudah mulai pulih dan ia menawari bola merah pemberian dari Paman Gaara. Diluar dugaannya, Kakanya sangat marah dan membanting bola itu kesembarang arah.

Ia menangis sejadinya karena Kakanya tak pernah bersikap sekasar itu padanya. Jujur ia sangat ketakutan saat itu, tapi Ibunya berkata jika Kakaknya masih perlu istirahat karena belum sembuh makanya bereaksi seperti itu.

Ia sangat takut ketika warna mata kakaknya berubah semerah darah. Bahkan ia masih takut sekarang. Hari libur kali ini mereka diperintah Ibunya untuk bermain bersama di tanah lapang, kata Ibunya saudara tidak boleh saling bertengkar terlalu lama.

Satoshi masih terdiam. Entah apa yang ada dipikiran anak itu. Ia terlalu misterius dan susah ditebak.

"Nii-san..."

Satoshi menoleh kearah adiknya yang pandangannya masih mengarah jauh ke tanah lapang penuh rumput hijau itu.

"Sama sepertimu, aku juga ingin tahu siapa Ayah kita sebenarnya. Tapi... jika itu memang baik bagi Ibu, Aku akan belajar menerimanya."

The Blood of UchihaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang