Malam Perpisahan

1K 141 15
                                    

Malam itu phana lebih banyak diam dan menghindar dari wayo. Perasaan aneh itu datang lagi. Melihat mereka berduaan berpelukan, hati phana seperti tertusuk duri.

Acara malam itu ramai, junior dan senior saling ramah tamah. Satu per satu anak maba memegang lilin dan membuat barisan berbentuk lingkaran.

Mereka menyanyikan lagi ritme kedokteran. Bersenandung penuh makna.

Isi lapangan itu hanya maba dan mala kedokteran, karena anak tekhnik sudah menyelesaikan acara sotusnya hari ini dan akan melanjutkannya besok.

Wayo melirik ke arah phana, sejak kejadian tadi dia merasa kalau phana seperti acuh dan menghindarinya, beda hal dengan sahabatnya kit, dia malah nempel sama senior ming kaya prangko sama amplop gak terpisahkan.

Disini dipuncak acara, para junior mendatangi para senior untuk saling maaf memaafkan, dan saling mengenal. Tanpa pikir panjang wayo menghampiri phana yang berdiri dekat pintu gerbang menepi sendirian.

" P'pha." panggil wayo, menghadap wajah phana.

" Mm.." jawab pha seadanya.

"A-ku mintaa.."

" Sudah aku maafkan dan maafkan aku juga ya." phana bersiap mengeloyor pergi, sebelum itu.

" P'pha stop!" perintah wayo, entah dari mana keberanian itu muncul, "Apa?" phana tanpa menoleh,

"Pi marah?"

" Tidak."

" Pi seperti sedang menghindar?"

" Aku biasa saja."

" Aku daritadi melihatmu, kau selalu melengos ke arah lain."

" Aku hanya lelah, habis ini aku mau pulang cepat." pha melangkah pergi, ditahan oleh tangan dari belakang,

" Maaf karena aku tadi." ujar wayo gugup, sebenarnya dia juga bingung mau ngomong apa, tapi ada rasa tidak nyaman melihat senior nya ini menghindar darinya. Sesaat tadi mereka merasakan keakraban itu, tapi sejak di hall , keakraban itu seperti tenggelam, hilang yang ada hanya kekakuan yang dibuat buat. Wayo berfikir keras apa sebenarnya kesalahan yang dia buat?

Phana menoleh, isi kepalanya dan tubuhnya berkecamuk, logika dan perasaannya seperti sedang beradu, mencari jawaban ada apa dengannya? Perasaannya, dia selalu mengelak, jika mingkwan bertanya, kau suka dengan koala itu? Dan jawaban selalu berkata tidak. Seperti mind dan mouth terjadi ketidakkesepakatan.

Phana mempercepat langkahnya, mengikuti perasaan daripada logikanya, dia memeluk tubuh wayo yang mungil itu, didekapnya erat tanpa ada jarak, dan nafas phana pun terdengar bagai melodi piano bethoven menghentak hentak dalam setiap nadanya.

Wayo hanya diam, dia tidak menolak.
"P'pha." panggil wayo pelan.

" Sebentar."

" Huh?"

" Aku ingin tahu jawabannya."

" Jawaban apa p'pha?"

Wayo diam saja, tangannya yang kiri memegang kaos dipinggang phana, tangan satunya lagi masih memegang stabil lilin yang ada menyala.

Phana tenang, kegundahan itu lepas, tubuh sekecil ini bisa membuatnya menikmati waktu. Hangat.

"p'pha aku tidak bisa bernafas."

" Uh Oh maaf."

" P'pha wajahmu." tunjuk wayo.

"A-aku tidak apa apa." phana salah tingkah, air matanya jatuh ke permukaan bumi. Phana tidak tahu ada apa dengan air mata ini.

" A-ku pulang duluan." pamit phana.

" P'pha."

Phana tidak menoleh,

" P'pha."

Phana mengacuhkan, kali ini wayo teriak,

" P'pha !!"

Phana berhenti, baru kali ini phana diperintah anak pria yang seperti wanita menurut begitu saja. Seperti top top takut bottom.

" Namaku wayo, bukan koala."

" Iya mulai besok aku akan memanggil nama aslimu."

" Kenapa harus dimulai besok? Kenapa tidak sekarang?"

" Dan p'pha apa kau sedang bersedih?" tanya lanjut wayo. Lalu menaruh lilin dibawah tanah. Dan menghampiri phana yang berdiri menghadap sebaliknya.

" Ti-tidak, aku.."

"Pi maxim tadi meminjamkan bajunya itu saja."

" Hei kau tidak perlu menjelaskan apapun kepadaku, dan lagian bukan karena itu " jawab pha menoleh ke wayo lagi.

" Pi maxim memang mantan pacarku, kami sudah berpisah sejak tiga bulan lalu."

" Kamu tidak perlu menceritakan itu, dan aku tidak bertanya." ucap phana.

" Dan dia memintaku menjadi miliknya kembali ,maka dari itu dia memelukku." wayo yang polos menbeberkan semua tanpa ada celah kebohongan didal setiap katanya.

Phana mendengar kalimat terakhir, hal yang paling membuatnya penasaran, apakah dia akan menerimanya?

Ah apakah aku ini sudah berbelok? Ada apa dengan diriku? Kalau aku marah melihat mereka berduaan berpelukan, apa namanya kalau bukan cemburu? Lalu jika aku ini masih normal, melihat mereka mesra saat makan siang kenapa aku merasa terganggu? Dan iya, disaat dia memelukku, dan bersikap manja didepanku aku merasa nyaman, dan kelaki lakian ku ini ,, arrgh ! Kalau ini bukan cinta? Lalu apa namanya? Penasaran saja?

" Apakah kau menerimanya?" pertanyaan phana yang tidak seharusnya di omongin, ah kau bodoh sekali pha, sejak kapan kau mau tau urusan orang lain?

Belum wayo menjawabnya, pria berkaos putih itu datang dari arah belakang phana.

" Pi maxim?"

" Aku phana, nong."

Wayo menggeleng dan menunjuk dengan wajahnya ke arah belakang phana,

" Yo, sudah selesai? Aku tadi mencarimu, ku tanya mereka tidak ada yang tahu, lalu aku mencari cari ternyata kamu disini." phana melirik, maxim berjalan melaluinya. Maxim memegang kedua bahu wayo.

" Sudah selesai pi, kenapa?"

" Aku antar kamu pulang."

" Tidak! Aku yang antar dia pulang." teriak phana tiba tiba,
Shit pha! Ini mulut kenapa tidak bisa aku rem !

Wayo melihat polos ke arah maxim dan phana, " Aku bisa pulang sendiri atau dengan mobil kit."

" Mingkwan yang mengantar kit nanti, di-dia yang mengatakannya tadi." jawab pha cepat, sejak kapan aku pandai berbohong.

" Oh begitu, baiklah aku pulang sendiri kalau begitu."

" Tidak tidak, pi maxim akan mengantarmu ya. Ayo sekarang kita mengambil tas mu dan pakai mobil ku saja." Tikung maxim cepat mengontrol tubuh wayo, mendominasi keadaan.

"P'pha" wayo berhenti dan menoleh ke arah phana dan tersenyum.

" Terima kasih untuk hari awal ospek sampai hari ini, sangat menyenangkan." senyum wayo, phana bagai besi logam yang di panaskan oleh api panas, meleleh. Senyuman itu membuat phana meleleh.

" Iya senang bertemu dengan mu juga nong."

"Bye."

"Bye."

Phana melambaikan tangannya.

Jadi gini rasanya sepihak? Bukan soal perasaan tapi ajakan sepihak yang tak berbalas, nawarin pulang tapi tidak berbalas rasanya mau terjun bebas dari atas awan pake papan skateboard, apa aku mulai menyukai koala itu? Ah, lupakan saja pha mungkin karena matahari terbenam, dan memancarkan sinar jingganya, menjadi bulan dan membentuk wajah mungilnya dan aku terbawa suasana.
Mungkin esok hari kegilaan ini akan hilang







Bersambung

❤❤❤❤❤❤❤

Koala KuntetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang