Ternyata keberuntungan nggak selalu memihak sama semua orang.
And I guess, hampir semua orang tau. Hari ini hari pertama saya kembali kesini, walau cuma untuk short rest, sebelum saya memulai lagi. Dan, hari ini juga hari dimana saya baru mengetahui tentang dia yang ternyata sama sekali nggak pernah jadi buat keluar dari tempat sempit ini.
Padahal, dulu Brian selalu bilang, aku pengen ngajak kamu pergi dari sini.
Bullshit.
Beneran, saya gak bisa ungkapin semua emosi yang detik ini pengen saya luapkan ke dia. Apa mungkin karena perasaan ini semua udah hilang? atau karena saking terkejutnya saya dengar sendiri dari Brian kalau dia memutuskan buat nggak kuliah.
Nggak. Kuliah.
Brengsek.
Saya.. rasanya pengen banget marah. Dan memang benar, sekarang saya marah, kesal, kaget, tapi apa daya? ternyata saya cuma bisa sinting-sinting gak jelas tanpa bisa melakukan apapun selain menatap sosoknya nanar. Sumpah demi tuhan, saya benar-benar cuma diam, kayak patung, nggak bisa bergerak. Seluruh panca indera ini, hati, bahkan otak yang kadang susah buat diajak berkompromi pun kali ini bilang, kamu harus at least peluk dia, as a friend. Tapi.. ternyata otot-otot tubuh saya menolak semua keinginan teman-temannya.
Akhirnya dengan resiko saya tetap terlihat bodoh di depan Brian, yang lagi asik memainkan kedua tungkai kakinya dengan mengayunkannya ke berlawanan arah.
Setelah hampir satu menit berlalu, saya memaksa diri saya untuk memgeluarkan satu kalimat aja, masa bodoh mau itu berupa sebuah consolation ataupun cursing sekalipun. Yang penting kan saya bersuara.
"Kenapa?" Hahaha. Dari berjuta-juta kata atau rangkaian kalimat ternyata mereka cuma membolehkan saya menanggapi ceritanya dengan kata 'kenapa'.
Brian langsung mengadahkan kepalanya, dan menoleh dengan hati-hati ke arah saya. Detik itu.. hal yang paling kelihatan dengan jelas adalah, wajahnya.. terlihat lelah.
Brian hanya mandang saya lama, dan saya tidak mengerti apa arti pandangannya. Buruknya, dia tidak segera mengeluarkan sebuah kata. Dan dengan balik menatap matanya, yang terjadi setelah beberapa detik tanpa suara pun.. saya mencoba buat bicara, lagi.
"Kenapa?" Saya menekankan lagi nada suara saya.
Barulah setelah itu Brian tersenyum, "Tetep ya, cerewetnya nggak ilang."
Apaan sih nih orang, ditanya serius juga.
Saya mendecih keras dan buru-buru meletakkan pandangan ke segala arah, pokoknya bukan mata itu. "Apasih, gue lagi nanya serius juga."
Brian pun mengikuti saya untuk melihat ke segala arah, dan agaknya sedikit terlihat dari ekor mata saya- ia tidak berhenti tersenyum. "Mungkin nasib baik nggak berpihak baik sama orang naif kaya gue, Sya." Jawab Brian masih dengan raut wajah yang tetap.
Saya menaikkan alis tanda bertanya dan tidak terima. Iya benar, saya percaya bahwa nasib baik itu memang bisa saja datang ataupun pergi dari takdir siapa aja, tapi salah kalau Brian mengukur keberuntungannya hanya dengan berkata kalau dia adalah orang yang naif.
Sebenernya selama saya pergi, apa yang terjadi?
Apa yang terjadi sama Brian?