7

101 16 1
                                    

Akhirnya setelah satu bulan penuh saya habiskan di Torontoㅡmengikuti permintaan Ibu yang mengharuskan saya untuk pergi, karena katanya ini adalah salah satu bentuk reward untuk saya. Sekaligus, Ibu meminta saya untuk berkunjung ke tempat dimana keluarga Ayah saya tinggal. Mungkin sebelumnya Shaloom sudah bercerita kan? Bagaimana saya dan Mas Genta, teman saya yang sekaligus merangkap tangan kanan Ibuㅡyang sudah kami anggap seperti keluarga itu bertemu sampai pada akhirnya saya bisa menjangkau Shaloom dan menghabiskan sedikit waktu dengannya.

Ya, pertemuan perdana setelah Shaloom pergi untuk melanjutkan strata dua-nya.

"Jam berapa disana?" Tanya lawan bicara saya, dari belahan dunia yang berbeda.

Shaloom Gerhana.

"Kan bisa ngitung sendiri?"

"Hmm."

"Marah?"

"Nggak kok," Gelengnya sambil tersenyum. "Eh, Bri,"

Bergumamlah saya sambil merapatkan selimut yang menutupi hampir seluruh bagian atas badan saya—agar makin erat, tanda suhu air conditioner dari kamar ini yang sudah di atas rata-rata.

"Maret nanti, aku graduate." Lanjut Shaloom di iringi dengan sebuah senyuman yang lebar.

"Thesis kamu udah goal?" Tanya saya agak kepo.

"Udah, hehehehe."

"Seneng banget mbak?" Goda saya yang akhirnya sedikit larut dalam suasana, bersama Shaloom yang sedang berbinar-binar matanya.

"Iyalah!"

"Congrats, Sya. Boxy-smilenya yang nyantai dong." Sebenarnya, saya menahan untuk tidak ikut-ikutan tersenyum. Ini fakta lho.

Tiba-tiba ekspresi wajah Shaloom berubah menjadi kebingungan, berpikir keras. "Iya po? Biasa aja kok,"

Tidak dapat menahan tawa, akhirnya mereka pun keluar begitu saja dari mulut ini sesaat Shaloom berbicara menggunakan logat jawa dengan sebuah frase khas dari tempat dimana Ia bersekolah dulu. Yogyakarta.

"Astaga, ini anak udah jauh jauh ke Canada, masih pa po pa po aja,"

"Kan bawaan..." Shaloom mengerutkan dahinya sambil kembali mengubah ekspresi yang kini menjadi terlihat 'kesal' terhadap ucapan saya. Anak ini.

Tak lama setelah tragedi Shaloom dengan frase ikoniknya, kini keheningan tercipta antara kami berdua. Karena rupanya kami sibuk satu sama lain dengan kegiatannya masing-masing. Saya dengan tumpukan deadline tugas dari seorang dosen killer di salah satu mata kuliah dasar, sementara Shaloom dengan ponselnya. Tidak ada yang berbicara, tapi tidak ada pula yang mengakhiri koneksi satu sama lain untuk tetap berkomunikasi.

Sampai pada akhirnya, mata saya tidak bisa untuk tidak menatap sosok Shaloom dalam-dalam. Meskipun dibatasi oleh ruang gerak, saya bersyukur waktu itu kami dipertemukan kembali, dengan semudah Tuhan menjentikkan jari kelingkingNya yang membuat pertemuan itu terjadi. Yang akhirnya, kali ini berhasil membuat saya menatap Shaloom dari sebuah layar yang tidak sampai sebesar televisi ini punㅡrasanya kurang cukup.

Ntah bagaimana, saya baru saja menyadari bahwa dirinya yang bergelar mantan kekasih saya ini tumbuh dengan sangat mekar. Menghiasi hidupnya sendiri, bahkan hidup orang lainㅡatau sebut saja saya yang termasuk deretan orang-orang itu. Hingga sekarang kami berteman kembaliㅡdan ntah bagaimana, saya kembali terkesima oleh sosoknya.

Tersadar dari renungan singkat saya tadi, hendak membuat saya untuk meluncurkan sebuah topik pembicaraan dengan Shaloom.

"Tidur woi," Shaloom dengan secepat kilat akhirnya mendahului saya untuk membuka percakapan.

Bibir saya yang sudah membentuk sebuah awalan dari suatu kata, kini terkatup kembali.

"Nanti aja," Jawab saya kembali mengarahkan pandangan pada tumpukan tugas dari Prof. Agus.

"Nugas apaan siiih.. Abrian..."

Seketika saya begidik geli mendengar Shaloom dengan candanya yang sengaja ia buat-buat. "Woi, jijik."

Shaloom melebarkan matanya, "Sensi amat!"

"Suka-suka gue lah," Jawab saya sambil mengendikkan bahu.

"Sok kegantengan lu," Imbuh Shaloom dengan pandangan sinisnya yang terlihat walau dari sebuah layar.

"Serah," Jawab saya acuh.

Detik itu pula, Shaloom Gerhana dengan secar tiba-tiba memustuskan sambungan FaceTime antara kami berdua.

Saya terkejut tentunya, dan sedikit merasa bersalah, sedikit tapiㅡlagipula kan saya cuma bercanda? Akhirnya, di waktu yang bersamaan pula saya dengan agak maju-mundur untuk membuka applikasi chatting, menuju room chat saya dengan Shaloom.

Abrian
Sya

[Read]

Anjir di read doang.

Abrian
Syaaaaa

Shaloom
Opo?

Abrian
Marah ya?

Shaloom
Nggak. Buat apa marah.

Abrian
Maaf, gak lagi-lagi begitu deh.

Shaloom
Ngapa minta maaf ke gua.

Abrian
Lagi pms ya?

Shaloom
Gak

Abrian
Padahal tadi cuma bereaksi spt biasa doang.. gak ada maksud.

Shaloom
Oke.

Abrian
Lu kalo marah mulu banyak yg kasian.

Shaloom
Ooooooh iya? Sapa? Sini biar gue kasi tau, mau gue ngambek kek, jumpalitan kek, serah gue.

Waduh ini beneran pms ya, Abrian kok tolol banget sih lo, Ah.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 26, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

ParkourTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang