(Senja) Espresso

1.9K 13 0
                                    


H-T-S (Hubungan Tanpa Status). Sebenarnya aku nggak begitu paham dengan hubungan semacam ini. Bukankah "Berteman" atau "Adik-kakak" juga sudah merupakan sebuah status? Tapi mengapa rasanya teramat menyakitkan ya? Meski mungkin di sisi lain ada perasaan bahagia karena telah dibuat nyaman atas perhatian-perhatiannya yang hampir setiap hari tak pernah absen. Nggak ada kekangan, larangan, atau apapun itu hanya karena adanya sebuah ikatan. Bebas. Tapi siapa sih yang tau isi hati seorang cewek? Terlalu munafik jika menyebutnya "Cinta itu nggak harus memiliki."

***

Jam sudah hampir menunjukkan pukul 19.30 WIB dan aku masih saja terpaku pada secangkir coffee latte di hadapanku yang kini tersisa seperempatnya. Ah, ini nggak biasanya cara kamu untuk menemuiku, atau lebih tepatnya mengabulkan permintaanku untuk bertemu. Sudah terlambat satu jam dari perjanjian. Biasanya kamu selalu tepat waktu meski terkadang masih suka memberi harapan palsu. Selain itu kamu juga nggak pernah tega jika ada cewek yang keluar malam-malam sendirian, untuk itulah sejak awal kita kenal, kamu beralasan harus selalu menjemputku setiap kali kita akan bertemu di luar.

Rasanya sudah lelah jika masih terus berada di sini untuk menunggu kedatanganmu yang tak pasti. Aku memang sengaja tak menguhubungimu dahulu, karena ingin tahu seberapa prioritaskah aku bagimu? Baru saja aku ingin beranjak dari tempatku duduk, seseorang menyapaku.

"Sudah lama? Maaf ya telat," ucapmu yang baru saja datang lalu duduk di hadapanku. Melepas sweater abu-abumu dan sedikit merapikan potongan rambut pompadour-mu.

"Habis potong rambut?" tanyaku ketika melihat ada yang berbeda dari bagian kepalamu.

"Hehehe, iya, kemarin," jawabmu santai yang masih saja tanpa ada rasa bersalah. Aku diam, datar, tanpa ekspresi.

"Aku tadi dari rumah temen dulu. Baru aja lamaran dia," katamu mencoba menjelaskan. "Maaf ya nggak ngabari dulu kalau bakal telat, jadi bikin kamu nunggu lama," lanjutmu.

Kesal. Rasanya mau marah pun nggak ada gunanya, mau menangis pun juga percuma. Dan jika aku harus menjawab "Nggak apa" juga terkesan munafik! Aku diam sebentar, lalu beranjak dari kursi sembari membereskan ponselku yang ada di atas meja.

"Mau kemana?" tanyamu yang masih dengan posisi dudukmu.

"Pulang aja yuk, sudah malam."

Kamu melirik jam tangan silver yang melingkar gagah di pergelangan tangan kirimu, "Baru jam setengah delapan kok. Lagian aku juga baru aja dateng lho. Katanya kangen dan ada yang mau diomongin?"

"Rasanya pun percuma, karena sampai detik ini juga aku masih bukan bagian dari prioritas Kakak."

"Sekali lagi aku minta maaf. Acaranya tadi mendadak."

Aku kembali duduk dan meletakkan tasku di atas meja. "Akhir-akhir ini Kakak udah mulai beda, entah karena memang benar-benar sibuk dengan kerjaan atau udah mulai jenuh sama aku. Susah banget cari waktu free-nya Kakak. Sekalinya ada, selalu kayak gini."

"Hhmmm... Boleh aku pesen minum dulu? Atau kamu juga mau pesen lagi?"

Aku menghela nafas, "Nggak perlu. Kakak aja," jawabku menunduk, agak kecewa memang dengan responnya yang terkesan tak mengacuhkanku.

"Sebentar ya," ucapmu yang dilanjutkan dengan memanggil salah satu pelayan di kedai kopi ini.

"Silahkan, Mas, mau pesan apa?" tanya pelayan pria itu sembari memberikan selembar daftar menu yang ada di kedai kopi ini.

Kumpulan Cerpen "Mentari Setelah Senja"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang