(Mentari) Yang Tertunda

533 7 0
                                    

Salah satu hal yang membuatku hingga saat ini bersemangat untuk belajar lebih dewasa adalah kamu. Ya, seorang lelaki yang sangat aku cintai melebihi cintaku pada diriku sendiri. Terlihat berlebihan memang, tapi begitulah kenyataannya.

***

Pagi itu kamu berencana untuk pulang kampung setelah berhari-hari harus menjalankan rutinitasmu sebagai seorang perawat di rumah sakit. Bekerja 24 jam hampir setiap hari demi mendapatkan libur panjang. Aku mengerti, bagaimana rindunya rumah, keluarga, terutama orangtua yang jauh dari kita, karena aku pun juga seseorang yang merantau sepertimu. Aku pun tahu, bagaimana kamu sangat mencintai kedua orangtuamu, terutama ibumu, hingga kamu tak sabar untuk segera pulang.

Entah kenapa saat itu perasaanku tak enak, tepat ketika kamu mengirimkanku pesan meluai Whatsapp untuk berpamitan pulang. Ada perasaan sedih yang teramat, padahal biasanya aku baik-baik saja. Hanya satu pikiranku saat itu, yaitu ingin segera melewati empat hari ke depan untuk kita bisa bertemu kembali di rumahku. Merealisasikan rencana kita untuk bertemu dengan orangtuaku yang sempat tertunda di tiga bulan yang lalu sejak kamu menyatakan keseriusan perasaanmu terhadapku.

***

Mas kecelakaan, Dek. Ditabrak.

Sebuah kalimat dari pesan Whatsapp yang membuatku tersentak di tengah kesibukanku sebagai koordinator penyelenggaraan makanan pasien. Pikiranku yang saat itu sudah mulai lelah berkutik dengan angka-angka harga belanjaan bahan makanan semakin menjadi-jadi karena kabar tak terduga darimu. Aku meninggalkan sejenak kertas nota-nota belanjaan di meja untuk segera menghubungimu. Memastikan bahwa keadaanmu baik-baik saja, atau minimal kamu tak terluka parah.

"Halo, Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam. Gimana? Lagi dimana?"

"Iya, nggak apa-apa kok. Ini berhenti di pinggir jalan, nunggu dijemput ayah sama adek."

"Beneran nggak apa?"

"Cuma lecet di kaki kiri sama tangan kiri aja. Kayaknya sih pergelangan tangan Mas dislokasi deh, soalnya nggak bisa dibuat gerak."

"Terus gimana? Emang kronologisnya kayak gimana?"

"Ya itu, dari arah berlawanan ada motor Tossa, tau kan motor Tossa? Dia ngejar lampu hijau, padahal udah maunya merah. Yaudah, apesnya Mas, kena tabrak."

Disaat yang bersamaan, aku khawatir dengan keadaanmu, tetapi di sisi lain aku juga merasa akan kembali kecewa. Jika diperbolehkan untuk egois, pikiranku melayang menuju empat hari ke depan, bahwa hari itu akan tertunda kembali jika keadaannya sekarang seperti ini. Atau bahkan tak akan pernah terjadi.

Aku menghela napas pelan, "Tapi Mas beneran nggak apa kan?"

"Nggak apa kok, tenang aja."

"Yaudah, hati-hati, Tunggu ayah sama adek buat jemput Mas."

"Iya, kamu juga semangat bekerjanya. Oh iya, untuk ke rumahnya ditunda dulu ya, lain kali aja. Maaf," ucapmu. Aku diam sejenak.

Betul kan apa yang aku pikirkan? Pertemuan yang sudah direncanakan jauh-jauh hari tertunda begitu saja. Pasalnya, untuk menentukan jadwal libur yang sama antara aku dan kamu sangat-sangat susah. Terlebih disamping kepadatan jadwal shift-mu, juga ada tugas khusus dari rumah sakit yang harus kamu laksanakan.

"Dek?"

"Iya, Mas, nggak apa kok."

Sejujurnya aku memang benar-benar kecewa, tapi mau gimana lagi jika seseorang sudah terkena musibah. Aku juga nggak bisa menyalahkan keadaan, karena kamu sendiri pun sebenarnya nggak ingin hal ini terjadi.

"Yaudah, dilanjut dulu kerjanya. Semangat! Nanti kalau Mas sudah sampai rumah, Mas kabari lagi."

"Iya..."

"Iya. Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam."

***

Hari sudah mulai gelap, hawa dingin yang menyeruak masuk ke kos tempat aku tinggal di perantauan terasa menusuk hingga ke tulang-tulangku. Pikiranku masih beradu, antara mengedepankan keegoisanku atas tertundanya rencana kita dan kekhawatiranku tentang keadaanmu sekarang. Ku ambil ponsel di meja, mencari kontak namamu dan segera menghubungimu.

"Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam. Lagi apa?"

"Ini lagi makan, hehe," jawabmu tanpa ada rasa beban sama sekali.

"Ha? Makan?"

"Iya. Kenapa, Dek?"

"Sini lagi khawatir, eh, sana enak-enakan makan, sambil cengengesan pula."

"Hahaha... ya nggak apa."

Untuk beberapa menit kita terjebak dalam kebisuan. Kamu yang sedang sibuk mengunyah dan aku yang masih tetap kepikiran akan tertundanya rencana kita untuk yang kedua kalinya. Air mataku sedikit demi sedikit terlepas dari singgasananya. Tak kuat lagi menahan bebannya kekecewaan atas keegoisanku. Aku sempat sedikit terisak, sangat pelan, tapi masih tetap terdengar olehmu.

"Dek? Kamu kenapa? Nangis?"

"Apa ini yang dinamakan Allah belum berkehendak ya, Mas?"

"Mungkin, Dek. Mas pun juga nggak berharap akan kecelakaan."

"Mulai minggu depan Mas bakal sibuk banget, dan pasti bakal susah juga ngatur jadwalnya."

"Kamu belum bisa ya ternyata untuk menahan ego dan emosi?" tanyamu. Sepertinya kamu mengerti arah pembicaraanku.

"Maaf kalau aku terkesan egois. Aku cuma ingin mengutarakan apa yang aku rasakan "

"Iya, Dek, nggak apa kok. Utarakan aja apa yang ada di dalam pikiranmu."

"Udah kok, cuma itu aja."

"Iya. Bulan depan Mas coba atur jadwal lagi. Semoga rencana kita bisa segera terealisasikan."

"Iya, Mas. Terima kasih."

"Yaudah kalau gitu, Mas buat istirahat aja."

"Iya, Dek."

"Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam."

***

Aku pernah membaca sebuah kalimat, yang intinya adalah jika seseorang ditakdirkan berjodoh, maka segala sesuatunya akan dipermudah oleh Allah. Aku nggak ingin suudzon, tapi aku masih tetap berharap dapat terus berlanjut denganmu hingga ke pelaminan. Kejadian ini mungkin salah satu bentuk ujian dari Allah atas hubungan kita. Atau bisa jadi mungkin ini pertanda dari Allah kalau memang belum waktunya, dan kita, terutama aku harus lebih bersabar lagi, lebih belajar lagi untuk memperbaiki diri dan mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Kumpulan Cerpen "Mentari Setelah Senja"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang