(Mentari) Terbitnya Mentari

283 2 0
                                    

Siang ini, seperti biasa, aku melakukan rutinitasku sebagai ahli gizi di rumah sakit. Memberikan konseling kepada setiap pasien yang baru masuk untuk menjelaskan diet makanan yang akan didapat selama dirawat di rumah sakit. Tak banyak, hanya 10 pasien baru yang harus aku konseling dan aku tulis catatan asuhan gizinya di rekam medis pasien.

Kebetulan jadwal jaga salah satu perawat ruangan penyakit dalam pagi ini adalah kamu. Iya, laki-laki yang hampir dua bulan ini menjadi bahan gosip teman seruangan karena menyukaiku. Aku nggak mau terlalu percaya diri, karena aku menganggap gosip itu hanyalah sebuah candaan. Nggak mungkin kan, kamu menyukai anak kecil sepertiku? Rentang usia kita terpaut lima tahun. Seharusnya kamu bisa mendapatkan perempuan yang seusia denganmu. Ya meskipun aku tahu, jodoh tak mengenal berapapun jarak usianya. Jika memang jodohnya, kenapa enggak?

Selama hampir dua bulan itu, kamu berusaha mencoba mendekatiku. Malu-malu tapi mau, beberapa cara kamu lakukan agar bisa lebih dekat denganku. Salah satunya mencari tau nomor WhatsApp-ku untuk menghubungiku. Satu hal yang membuat aku tertarik ke kamu adalah, caramu mendekatiku yang berbeda dengan laki-laki lainnya. Kamu tak terlihat begitu agresif. Hanya sesekali menghubungiku untuk sekedar membangunkanku di sepertiga malam. Dan untuk beberapa minggu, aku mulai merasa nyaman denganmu.

***

Di nurse station ruang penyakit dalam hanya tertinggal kita berdua. Dokter internship dan rekan perawatmu entah pergi kemana. Kamu sibuk dengan tumpukan rekam medis pasien yang sudah pulang untuk segera diinput ke SIMRS, begitupun denganku yang sudah pukul 12.30 WIB masih menyelesaikan tujuh catatan asuhan gizi pasien.

"Kelihatannya sibuk banget?" tanyamu tiba-tiba. Aku menghentikan aktivitas menulisku dan menengok ke kamu.

"Enggak juga sih,tinggal tiga pasien," jawabku meringis.

"Maaf ya."

"Untuk apa?"

"Maaf untuk perlakuan teman-teman selama ini ke kamu. Jangan dimasukkan ke hati. Juga jangan marah ke mereka, marahnya ke aku aja," jelasmu, yang membuatku masih belum mengerti arah pembicaraan ini.

"Apa ya, Mas? Kok aku nggak paham?"

"Maaf soal teman-teman yang suka ngeledekin kita berdua. Aku takut kamu merasa nggak nyaman, terus marah ke mereka," katamu polos. Sedetik kemudian, kedua sudut bibirku tertarik ke atas. Ingin rasanya aku tertawa, tapi takut tak sopan.

"Aku nggak marah, Mas. Justru aku hampir ketawa."

"Alhamdulillah. Lucu dong kalau ketawa?"

"Ha?"

"Nggak apa kok," jawabmu, meringis.

"Yaudah, dilanjut lagi nyatatnya. Maaf ganggu."

"Iya, Mas, nggak apa kok."

Dari sini, aku merasa suasana sedikit canggung. Ada perasaan grogi yang aku nggak tau itu disebabkan karena apa. Ruangan hanya ada kita berdua. Teman yang lain belum ada yang kembali. Tv ruangan mati dan tak ada suara musik. Hening. Namun, beberapa saat kemudian, aku hampir terbatuk ketika mendengarmu yang tiba-tiba melontarkan kalimat yang membuatku sedikit kaget.

"Jujur, aku memang suka kamu," katamu yang sudah menghadapkan tubuhmu ke arahku. Aku diam, menunggu kalimat berikutnya yang mungkin saja masih ada yang ingin kamu sampaikan.

"Maaf kalau selama ini sudah buat kamu nggak nyaman dengan perlakuan teman-teman. Apalagi dengan apa yang baru aja aku sampaikan. Aku nggak menuntut kamu untuk yang bagaimana. Seenggaknya aku sudah cukup lega menyampaikan perasaan aku ke kamu, ya meskipun harapanku bisa melamar kamu." Tanpa sadar, mulutku terbuka. Cukup terkejut dengan kalimat-kalimat yang baru saja kamu sampaikan.

Kumpulan Cerpen "Mentari Setelah Senja"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang