sieben.

1.6K 230 8
                                    

Chaeyoung mendorong pintu masuk cafe dan langsung menemukan Jaehyun yang sedang melayani pelanggan. Chaeyoung melangkah masuk dan segera menghampiri lelaki itu. "Jae,"

"Oh, hai Chaeyoung." Sapa Jaehyun, kemudian melanjutkan kegiatan sebelumnya. Setelah itu dia menarik Chaeyoung untuk menjauh dari pelanggan dan membawanya keluar dari cafe. "Aku permisi sebentar." Ucapnya kepada manajernya sebelum ia benar-benar keluar dari sana.

"Ada keperluan apa?" tanya Jaehyun setelah mereka tiba di luar.

"Aku butuh bicara denganmu," ucap Chaeyoung sambil berharap setengah mati bahwa suaranya terdengar normal, walaupun pada kenyataannya terdengar seperti mengembik.

Jaehyun mengerjapkan matanya sekali, kemudian tersenyum. "Apa yang ingin kau bicarakan?" Ia kemudian menyentuh pipi kanan Chaeyoung dan mencubitnya pelan, "apa kau mau membicarakan soal potongan daging terakhir yang aku makan? Aku minta maaf untuk hal itu." Jaehyun tersenyum jahil dan sedikit menguatkan cubitan di pipi gadis itu.

Chaeyoung menyentuh pergelangan tangan Jaehyun agar lelaki itu berhenti mencubitnya. "Berhenti mengalihkan pembicaraan dan dengarkan aku," helaan napas Chaeyoung terdengar putus asa dan berat, membuat wajah ceria Jaehyun luntur begitu saja. "Aku tahu satu hal; kau masih mencintaiku, benar-benar mencintaiku. Tapi, kau harus tahu—kita tidak seharusnya begini." Chaeyoung meraih kerah mantel Jaehyun dan menariknya agar lebih dekat. "Aku juga masih mencintaimu, tapi kita harus saling melepaskan. Kau tahu maksudku 'kan? Kita bahkan tidak mempunyai hubungan apa-apa lagi, tapi kenapa aku masih jatuh padamu?"

"Apakah aku melakukan sebuah kesalahan fatal di kehidupan sebelumnya hingga aku pantas mendapatkan ini?" Chaeyoung terkekeh frustasi, suaranya bergetar dan cengkeramannya di kerah mantel Jaehyun mengerat. "Jika kita bersama lagi, kita akan menyakiti satu sama lain. Kau pikir"—tarikan napas Chaeyoung terdengar berat dan benar-benar menyakitkan—"kau pikir aku rela jika itu terjadi lagi? Aku masih peduli padamu, kau harusnya tahu itu. Walaupun kau bukan milikku lagi."

Cengkeraman Chaeyoung di kerah mantel Jaehyun perlahan melonggar, dan keduanya sudah tidak sedekat tadi. Chaeyoung sedikit menunduk, dan nyengir walaupun air matanya memaksa untuk jatuh sedari tadi. "Dengan begini, aku akan melepaskanmu."

Pertahanan yang Chaeyoung bangun sebelum bertemu Jaehyun hancur begitu saja. Ia menangis, diam, tanpa suara. Ia tidak ingin menghapus air matanya, biarkan saja begini, biarkan saja Jaehyun melihatnya. Chaeyoung tidak peduli lagi jika Jaehyun memandangnya sebagai perempuan yang lemah, pada kenyataanya keduanya sama-sama lemah.

Setelah membisu selama beberapa detik, Jaehyun akhirnya mengucapkan sesuatu dengan suara bergetar. "Kau serius?"

Chaeyoung mengangguk sekilas, poninya bergerak lucu ketika ia melakukannya. "Ya, aku serius."

Jaehyun tidak mengatakan apa-apa, ia hanya menangis. Menangis ketika menyadari kenyataan yang Tuhan berikan padanya sungguh membuatnya sesak dan ingin mati.

"Hari sudah malam," Sang gadis tersenyum, tanpa menatap lelaki di hadapannya. "Aku akan pulang."

Chaeyoung hendak pergi ke arah kanan, tapi Jaehyun menahannya dengan menaruh tangan kanannya di tembok. Chaeyoung mengulangi lagi, kali ini ke arah kiri dan Jaehyun melakukan hal yang sama.

Chaeyoung beralih untuk menghadap Jaehyun, dan menatap lelaki itu langsung di matanya. Tubuh Chaeyoung bergetar, ia masih menangis. Sebelum Jaehyun sempat mengatakan beberapa hal yang bisa membuat Chaeyoung jatuh lagi, dia menarik Jaehyun dan mengecupnya tepat di bibir.

Ciuman itu berlangsung lama, tanpa ada pergerakan di antara keduanya. Tubuh mereka sama-sama bergetar, terlalu lemah hanya untuk sekedar mendekap salah satunya. Kedua mata Jaehyun menutup, detik itu pula air matanya jatuh lagi untuk yang kesekian kalinya.

Jika Jaehyun pikirkan lagi, ia memang harus pergi. Ia tidak seharusnya menarik kembali Chaeyoung agar masuk ke dalam ruang hidupnya dan mengurungnya agar tidak bisa ke mana-mana lagi. Jaehyun sadar, ia tidak boleh egois. Chaeyoung punya kebahagiaan sendiri yang bisa ia capai, dan kebahagiaan itu bukanlah Jaehyun.

Chaeyoung melepaskan kontak bibir itu dan menghela napas berat, kemudian menatap Jaehyun. "Itu yang terakhir. Benar-benar terakhir," ada rasa sakit di dalam suaranya. "Pulanglah, sudah malam."

Jaehyun tidak mengangguk, ia hanya berjalan mundur dan menjauh dari gadis itu. Chaeyoung menatap punggung Jaehyun yang mulai menjauh sedikit demi sedikit, kemudian ia juga berjalan pergi ke arah yang berlawanan.

Chaeyoung berbalik hanya untuk melihat punggung Jaehyun yang perlahan terlihat semakin kecil dan lama-kelamaan menghilang. Sebelum punggung itu benar-benar lenyap, dengan senyuman yang menyakitkan, Chaeyoung berkata.

"Pada akhirnya, kita tidak bisa bersama lagi, bukan?"

Jaehyun hanya tersenyum mendengarnya, kemudian melangkahkan kakinya lebih jauh.

✖︎✖︎✖︎

aaaand, done. kalau dipikir pikir, ini galau banget ya? wkwkw gapapa deh, yang penting udah selesai. terima kasih. pls vote im desperate (well always desperate)

[2] hicran. +jaehyun, roséWhere stories live. Discover now