3- Sahabat

3.2K 218 13
                                    

Alden diam di kelas. Kepala cowok itu menunduk memainkan game di ponselnya. Hari ini Alden tidak ke kantin, cowok itu malas mengantri. Sesekali mulut cowok itu menggigit roti di tangannya dengan pokus ke arah ponsel. Roti itu pemberian teman cewek sekelasnya tadi, dan Alden sungkan untuk menolaknya hingga akhirnya ia terima dan berakhir di dalam perut.

Alden memang bukan cowok yang banyak tingkah. Ia tidak seperti cowok kebanyakan yang akan membuang barang pemberian dari pengagumnya seenak jidat, Alden masih memiliki hati. Dan itu membuat seluruh pengagumnya semakin mengaguminya saja. Alden mengangkat kepalanya saat mendengar suara petik gitar. Itu permainan gitar Septian—sahabat Alden selain Dewa juga Dio.

Alden melirik sahabatnya satu per satu. Semua sedang asik pada kegiatannya. Khusus Dewa juga Dio yang duduk di atas meja mereka sedang berebut sendok pada bekal makanan yang berada di tengah-tengah mereka, entah di dapat dari mana bekal itu. Khusus Septian, sahabat yang satu nya itu sedang terpejam dengan permainan gitar di tangan. Pemandangan seperti biasa. Dan seperti biasa pula, pemandangan seperti ini menghangatkan Alden.

Tanpa disadari mereka semua, Alden kembali menunduk dan tersenyum, bukan senyuman tengil yang sering cowok itu perlihatkan pada mereka. Namun, sebuah senyuman yang amat sangat tulus.

“Kapten dulu dong yang makan! Gue kan yang minta ke Suri.” Suara Dewa terdengar memprotes. Cowok itu merebut sendok yang berada di tangan Dio, dan Dio secepat kilat menjauhkan sendok itu dari jangkauan Dewa.

“Mau lo duluan kek. Gue kek. Tetap, aja Suri bawa bekal itu buat kita semua. Kita punya hak yang sama.”  Dio menyuapkan sesendok makanan ke mulutnya, dan Dewa hanya mendelik kesal.

Ah Suri. Suri adalah cewek cupu teman sekelas mereka saat kelas sepuluh. Cewek itu setiap hari selalu membawa dua bekal, satu untuk dirinya dan satu untuk mereka. Jangan salah, Suri tidak dibully atau menaksir mereka, hanya saja cewek itu malas jika bekal makanannya terus dimakan oleh mereka semua. Hingga akhirnya cewek itu berinsiatif membuat bekal untuk mereka juga. Sekarang cewek itu sekelas dengan Septian, di kelas XI B.

“Diem lo, playboy kampung!”
Perang di mulai lagi, Dewa memang suka cari masalah.

“Diem lo, kanjeng Dewa!”

Dewa berseru heboh. “Tuh! Gue kanjeng Dewa, Dewa mah dipuja.” Dewa menepuk dada bangga.

“Gue direbutin cewek-cewek.” Dio membalas dengan malas. Dewa jika mengajak ribut kayak anak TK.

“Najis temsek!”

Seketika mereka semua tertawa—kecuali Dio. Alden mematikan ponselnya, namun sedetik kemudian Alden mengaduh saat sebuah pensil terlempar tepat ke dahinya. Ujung runcing pensil itu sedikit melukai dahinya hingga saat Alden mengusapnya ada sedikit darah di sana.

Septian dan Dewa juga berhenti tertawa. Mereka semua melirik bingung pada sang pelaku. Di depan sana Sefrin tengah menatap berang pada Alden yang masih meringis.

“Pensil hina lo ketingalan.” Teriak Sefrin, cewek itu menyeringai saat matanya menatap Alden yang tengah meringis dengan sebuah mahakarya buatannya di dahi cowok itu.

Sefrin itu keluar dari kelas dengan Aleta yang terus melotot ke arahnya. Hati nya sedikit puas melihat Alden meringis kesakitan. Meskipun Aleta terus mengomel dengan tingkah lakunya tadi.

RendezvousTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang