Alden berjalan di lorong lantai satu sendirian. Suasana berisik di sekitarnya membuat Alden memilih lebih pokus pada ponsel, dari pada harus terganggu pada cewek-cewek kelas sepuluh yang secara terang-terangan terus menatapnya.
Lantai satu memang ditempati oleh kelas sepuluh, sedangkan lantai dua ditempati kelas sebelas, dan lantai tiga ditempati kelas dua belas.
Hari ini Alden sedikit kesiangan tapi masih tetap dibiarkan masuk, dan saat ini mungkin dirinyalah yang menjadi satu-satunya kakak kelas yang berjalan di lorong ini hingga menjadi perhatian anak-anak kelas sepuluh. Alden merasa tidak nyaman sebenarnya, namun ia memilih tidak peduli.
Tiba-tiba ada seseorang yang menepuk pelan lenganya, Alden mendongkak dari ponsel dan menemukan tiga cewek berada di depannya dan tersenyum.
“Hai Kak Alden!”
Seseorang dari cewek itu membuka suara. Alden hanya mengaguk samar, lalu mengambil jalan lurus menuju tangga. Lagi-lagi Alden mengabaikan cewek-cewek yang ingin mendekatinya. Bukan jual mahal, Alden hanya tidak ingin di ganggu oleh mereka kemudian hari, jika dirinya sekarang beramah tamah pada mereka.
Alden terus berjalan tenang, dan berhenti tepat di depan pintu kelasnya. Alden mengetuk pintu kelas pelan setelah menyimpan ponselnya di saku.
“Masuk!”
Seruan dari dalam membuat Alden langsung membuka pintu dan masuk ke dalam kelas. Hari kedua masuk sekolah dan lagi-lagi pelajaran tidak produktif. Di depan kelas sudah ada Ibu Esti, guru Bahasa Inggris mereka saat kelas sepuluh yang mungkin sekarang akan menjadi wali kelas baru untuk XI C.
Alden duduk di kursinya, setelah salam pada Bu Esti dan sedikit mendapat ceramahan di depan sana.
“Tumben lo kesiangan?!” Dewa bertanya setelah memasukan permen ke dalam mulutnya santai.
“Namanya juga manusia.”
“Oh gue kira lo telat bangun.”
Alden melirik sekilas ke arah Dewa. “Iya gue telat bangun.” Koreksi Alden meskipun jawaban sebelumnya tidaklah salah.
Dewa mengulum senyum, alisnya terangkat. “Lah, tadi lo bilang lo manusia? Kok sekarang jadi telat bangun?”
Alden mengerang prustasi. Pagi-pagi Dewa sudah kumat membuatnya kesal. “Serah lo Wa. Serah! sana lo ke laut servis dulu tuh otak.”
“Wah, ide bagus.” Dewa malah menganggapnya serius. Ia bahkan terlihat berpikir.
Alden tercengang. Setelah Alden pikir-pikir Dewa itu memang spesies yang tidak jelas, kadang normal, kadang sedikit aneh, dan terkadang sangat aneh. Seperti sekarang.
Dewa berbalik ke arah bangku belakang. “Tem, ayo kita ke laut.” Seru Dewa pada Dio.
Dio yang tengah menyerut pensil, berseru masam. “Gih pergi sendiri. Syukur-syukur lo di makan Nyi Roro kidul.”
Dewa melotot ngeri. “Allah huakbar. Amit-amit.” Setelah mengatakan itu Dewa kembali berbalik ke depan.
Kenapa Alden juga Dio selalu menyebalkan? Pikir Dewa kesal.
Mengabaikan segala isi hatinya. Dewa kembali bertanya kepada Alden, Dewa benci keheningan makannya dirinya selalu bertanya. Meskipun pertanyaannya terkadang tidak jelas.“Den tadi Bu Esti bilang apa?”

KAMU SEDANG MEMBACA
Rendezvous
Ficção AdolescenteSEBAGIAN BESAR SUDAH DI HAPUS! PINDAH KE DREAME Entah berapa banyak dosa yang telah dimilikinya. Sefrin Afrodita selalu mengeluh tentang hidupnya yang dirasa tidak adil. Mulai dari keluarganya yang dengan tega mencampakannya. Lalu sekarang muncul so...