IV

815 96 28
                                    

Jam terus saja berdetak, sementara waktu seolah berhenti bagi gadis itu. Sudut bibirnya perlahan terangkat. Sebuah seringai kecil muncul.

Entah kenapa, dadanya terasa begitu menyakitkan. Sesuatu yang selama ini terkubur dalam-dalam di balik hati dan kegengsiannya terlihat.

Tak dapat mengelak lagi. Firza bergumam, "Kalau udah gini ... terlambat, ya?"

Ya, gadis itu memang menaruh sesuatu pada Raafi. Namun, selalu ia elak sejak dulu. Gengsinya terlalu tinggi dan ... keberadaannya yang seolah terlalu dekat dengannya.

Terlalu dekat sampai tak terlihat.

Perlahan, air matanya yang tadi sudah ada di pelupuknya mengalir. Amarah, kesal, sedih, serta hal lain yang menyangkut di dalam hatinya menjadi satu.

"Sekarang ... harus apa?"

***

Esoknya, H-9 keberangkatan.

Pikiran-pikiran tentang sosok itu tak kunjung menghilang dari otak Firza. Kembali, kembali, dan terus saja kembali. Demi apapun, ini menyebalkan sekaligus ... menyakitkan.

"Kalau sekarang tanggal 4. Kemungkinan besar dia berangkat tanggal. Ah, sial...." Gadis itu terdiam.

Kenapa ... harus tanggal 14? sambungnya dalam hati.

Well, tanggal 14 memiliki peran penting dalam kehidupan Firza. Terlalu penting. Bukan tanggal jadian atau kelahiran. Tapi ... tanggal-tanggal yang menyangkut kebahagiaan, kesedihan, keterpurukannya. Cukup, terlalu banyak.

"Kenapa juga harus tiba-tiba dan secepet ini, sih?"

Rasanya ingin sekali menumpahkan seluruh perasaannya ini pada seseorang. Seseorang yang rasanya cukup tahu tentang hubungan mereka berdua di SMA.

Tapi, pada kenyataannya―lagi dan lagi―kegengsiannya mengalahkan semua itu. Ya, bahkan tak ada seorang pun yang tahu perasaan Firza yang sebenarnya―terlebih terhadap Raafi.

Yang orang-orang tahu, ia masih saja memendam perasaannya pada mantan kakak kelasnya di SMA yang juga adalah tetangganya.

Karena gadis itu selalu saja terbayang akan cinta searahnya itu. Dan karena itu pula, perasaannya seolah menyebar dan ... tak terlihat.

Huffft....

Kalau sudah begini, ia tak bisa mengelak lagi perasaannya. Dalam lubuk hatinya yang terdalam, ia takut akan perpisahan yang mengaitkan jarak sejauh itu. Ia takut ... kalau sosok itu tak bisa tergapai lagi.

Ia ... terlalu jauh. Tapi, siapa dirinya? Punya hak apa?

"Dia cuma orang yang kebetulan sering lewat, Ja. Begitu juga diri lo sendiri," ucapnya pada diri sendiri. "Lo juga ... cuma orang yang kebetulan sering lewat. Nggak dan nggak akan pernah lebih."

Sejujurnya, hatinya ingin meneriakkan kalau semua ini takdir. Tapi ia terlalu takut untuk mengatakan semua itu. Ia takut ... kalau ke depannya, takdir itu tak sejalan dengan apa yang ia angankan.

Dan pada akhirnya, hanya air mata lah yang dapat mengungkapkan semua itu.

Di sisi lain, ingatkah kalau Tuhan tidak pernah membuat kebetulan sebagai suatu alasan?

***

Bogor, 14 November 2017
12:46 WIB
Detik-detik keberangkatanmu.

No words. Thanks for reading.

Regards

Nari

AFTEARS [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang