"Pada suatu hari nanti,
jasadku tak akan ada lagi,
tapi dalam bait-bait sajak ini,
kau tak akan kurelakan sendiri"
-Sapardi Djoko Damono- oo -
Hari ini, genap satu tahun sejak peristiwa nahas itu terjadi.
Malam paling panjang dari seluruh malam seumur hidupnya. Detik-detik dimana sungai sedingin es mengalir deras di punggungnya. Mimpi buruk yang membuat beku sekujur tubuh. Kebingungan dan kecemasan mencakar kepalanya, diikuti serangan halilintar yang secepat kilat menghantam keras tepat di dada, begitu kencang hingga ia masih bisa merasakan setiap kengerian dan rasa sakitnya hari ini.
Malam itu, jarum jam menunjuk nyaris tengah malam, seorang gadis yang tertidur lelap, mendengar suara ketukan pintu rumah begitu keras hingga membuatnya terhentak bangkit dari tidur. Ia menyibak kasar selimut yang dikenakannya. Dengan panik, ia berlari kecil keluar dari kamar untuk menggapai pintu rumah, karena suara ketukan itu semakin keras dan bahkan lebih terdengar seperti penggedoran.
Takut-takut ia mengintip dari jendela, dilihatnya om, tante, serta nenek, kakeknya diluar. Lalu tanpa aba-aba, sekelibat saja setelah ia membuka pintu, semua menjadi kacau-balau. Dengan kesadaran yang belum terkumpul sepenuhnya, ia merasakan sirine ambulans menusuk telinga, serta sorot cahaya lampu mobil menerobos kelopak matanya
Ia berusaha keras mencerna apa yang sedang terjadi, hingga tiba-tiba neneknya memeluk erat tubuh gadis itu sembari mengelus punggungnya, kemudian dengan sangat lembut, wanita berambut putih itu bicara, "Bita, kakakmu meninggal"
Dunianya seketika runtuh, kakinya melemas, tangan kanannya mencekik gagang pintu, dan tangan lainnya mengepal begitu keras hingga setiap kuku di jarinya melukai telapak tangan. Napasnya memburu tak beraturan, diikuti bola mata yang menyisir keramaian di luar rumahnya.
Lalu-lalang manusia berpakaian serba hitam mulai membanjiri ruangan. Suara isak tangis menggaung di udara. Pandangannya bergerak kesana-kemari mengikuti gerakan manusia-manusia disana, hingga akhirnya sekantung jenazah lewat persis di hadapannya bersama dengan Ayah dan Ibunya.
Lalu perlahan genangan air mata membuyarkan pandangannya, hal terakhir yang ia tangkap adalah wajah kedua orangtuanya yang digelayuti awan kepedihan. Wanita yang melahirkannya itu menangis sesak dengan mata lebam dan berantakan, dirangkul oleh ayahnya yang tak kalah rapuh dan duduk bersandar di dinding. Kakinya tak mampu lagi menopang tubuh, Bita pun rubuh di pelukkan neneknya malam itu.
"Bundaa, aku berangkat sekarang ya ke makam" Ucap Bita sambil menggenggam setangkai bunga matahari berukuran cukup besar
"Sebantar Bi, Bunda mau ngomong dulu sama kamu" sergah Lina, ibu Bita, yang lalu keluar dari dapur. Ia membuka tali celemek dan menyelipkannya lewat atas kepala. "duduk dulu, nak" keduanya duduk di sofa hitam yang berhadapan dengan televisi ruang tengah
"Besok kamu udah masuk SMA, kamu harus bisa jaga diri. Bunda gak mau kamu sampai salah langkah kayak kakakmu. Kamu harus bisa jaga diri"
kening Bita mengernyit bingung , "maksudnya?"
"waktu kecelakaan tahun lalu, kakakmu" Lina menghela nafas berat "kakakmu hamil, Bi"
Butuh beberapa detik sebelum akhirnya tangis Bita pecah sejadi-jadinya di pelukan sang Bunda yang juga ikut menangis. Bita merasakan jantungnya berpacu dalam sakit yang teramat.
Perlahan, tangisan itu mereda, dan setelah lebih tenang, Bita menarik dirinya pelan dari pelukan serta menghapus jejak air mata di wajah bundanya. Terbata-bata ia menjawab, "iya Bun, Bita janji akan jaga diri. Bunda jangan nangis lagi ya"
KAMU SEDANG MEMBACA
Aksara Biru
Fiksi RemajaAksara Biru namanya- Kadang dia Aksa yang mengacaukan Kadang dia Biru yang menenangkan Sesaat dia Aksa yang bengis Sesaat dia Biru yang puitis Aksa yang terus mencari sensasi Biru yang selalu mencari esensi Satu yang pasti, entah saat dia Aksa atau...