Bagian 8 || Setengah Kodi Peribahasa Kucing

172 22 0
                                    

Satu: Biarpun kucing naik haji, pulangnya mengeong juga.

Sifat seseorang tidak berubah bahkan sepulangnya dari rantau.

Sekalipun aneka fasilitas bintang seribu telah kupasok, B masih saja mengekspos perangai (maaf) kucing kampung.

Memang, mulanya aku yakin bahwasanya perempuan berdagu sepasang gunung kembar yang sering menghiasi buku gambar bocah TK itu adalah juragan B terdahulu, jadi kupikir bisalah B beretika selayaknya pangeran Kerajaan Inggris. Namun, tengoklah sekarang. Walakin berfaedah mengasah kegesitan, B tetap saja sok ganteng. Tebal telinga terhadap sohib-sohibnya yang mengajak main di loteng dan septic tank.

***

Dua: Membeli kucing dalam karung.

Ketidaktelitian membuahkan kekecewaan.

Hidup sebagai seekor kucing itu tidaklah sesimpel yang dilamunkan. Siapa bilang rutinitasnya cuma berkutat di tidur, makan, kakus, dan kawin? Apakah mereka sesoliter itu? Tidak. Jika dipersandingkan dengan binatang jinak lain, kucing termasuk yang paling gampang mengepang chemistry dengan manusia.

Akan tetapi, yang patut dicemaskan di sini ialah naluri. Naluri hewani mereka begitu getas. Kalau tak hati-hati, mereka riskan sekali berstiker "FRAGILE" dan "HANDLE WITH CARE".

Ketika sang pemilik tiada mendampingi selang beberapa waktu, angka risiko penuaan diri mereka meroket ekstrem; terjangkit stres. Kecondongan ini setahuku merupakan gejala separation anxiety. Rincinya, kucing yang menderita gangguan ini termonitor kebanyakan mengeong, hobi membuntuti tuannya, mogok makan, mencakar-cakar pintu, seharian penuh menjilati bulunya sendiri, selalu melompat ke pangkuan tuannya walau tidak dipanggil.

Begitulah B dewasa ini.

Aku galau kalau-kalau dia mengidap separation anxiety. Aduh, jangan sampailah. Cukup rumah sakit jiwa itu untukku seorang.

***

Tiga: Bagai kucing bermain daun.

Seseorang yang senang mempertontonkan kelebihan.

Terlepas dari kerepotanku menjegal Ujian Nasional (minggu depan!), senantiasa kucadangkan waktu guna menginspeksi kucing jantanku itu. Sekalian pula aku curi-curi ilmu darinya.

Seperti halnya malam ini. Aku hanyut menggempuri konstelasi soal Matematika mematikan bersama B. Maksudku, aku yang mengerjakannya; B kasih dukungan morel saja. Biarpun ada meja belajar di kamar, (lagi-lagi) kupilih ruang keluarga. B asyik menggelinjang berajojing entahlah pada karpet bulu biru tua yang kududuki, dekat meja rendah kaca tempatku menulis. Televisi, sekitar dua meter di depan, tabah memutar sinetron yang bagaikan selamanya.

Mendadak, aku terlonjak bangun dengan kepala—moncong tepatnya—menerkam meja.

Kulihat B membeliak persis Sfinks Agung Giza di Mesir.

B—titisan patung berkepala manusia dan berbadan singa tersebut—mengobservasiku, menatapku seakan aku ini orang yang baru keluar dari WC untuk pergi ambil air sebelum kemudian masuk lagi sebab tadi kehabisan air.

Oh!

Cepat-cepat kusergap tisu lalu mengelap-ngelap sembrono.

Sebab, di situ, area meja yang barusan kutindih, terbentang peta gugusan pulau abstrak transparan.

Untunglah B dengan centilnya menjedot-jedotkan pipi ke kakiku, sehingga jagawana gerbang mimpi gagal menculikku, dan peta gugusan pulau abstrak transparan itu tak telanjur jadi atlas dunia.

BTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang