BAB V : BUKU MANTRA YANG MEMBUAT TERBANG

11 2 0
                                    

Setelah perjalanan lumayan panjang di lorong berkelok ini, akhirnya kami sampai juga di sebuah ruangan yang cukup luas di ujung lorong.

Ruangan ini langsung terhubung dengan lorong tanpa adanya pintu yang membatasi antara lorong dengan ruangan ini.

Selain adanya sebuah lampu bulat besar berwarna putih yang menggantung di bagian atas ruangan sebagai penerangan, pemandangan di dalam ruangan ini juga hanya didominasi oleh rak-rak buku berukuran besar yang mengelilingi ruangan, yang terisi penuh sesak dengan buku-buku yang berbaris rapi di dalamnya.

Di sini, terdapat juga sofa hitam panjang di setiap sudut ruangan, lengkap dengan masing-masing meja di depannya, serta terdapat lemari kecil kotak berukuran setengah meter berwarna hitam di samping tiap-tiap sofa itu.

Ruangan tanpa jendela ini, terasa begitu sunyi dengan suhu yang sangat hangat, sehingga sama sekali tidak terasa kalau di luar sana sedang berlangsung turunnya salju.

Sebelum sampai di depan ruang besar ini, aku juga sempat melihat total terdapat delapan pintu yang ada di sisi kanan dan kiri lorong.

Pintu berwarna hitam itu masing-masing ada empat buah di sisi kiri, dan empat buah yang lainnya berada di sisi kanan lorong. Entah ruangan apalagi yang ada di dalam pintu itu.

Sementara, sepertinya ruangan ini letaknya berada di bawah tanah. Karena, di ruangan yang seperti perpustakaan ini, sama sekali tidak terdapat adanya jendela, seperti yang terlihat dari luar tadi, dimana Kastil ini banyak sekali terdapat jendela persegi.

Dan lorong yang baru saja kami lewati juga terasa hanya terus menurun, sehingga menegaskan jika ruangan ini memang benar-benar berada di ruang bawah tanah.

*****

Saat ini, kami berempat masih tetap berdiri di mulut lorong yang terhubung dengan ruang ini.

"Akhirnya kita sampai juga!" seru Deo, "ini adalah ruang perpustakaan pribadi Profesor dan juga kami bertiga." Lanjut Deo, menjelaskan kepadaku.

"Apa katamu, kami bertiga, apa tidak salah?" potong Alenta cepat, "bukankah hanya aku dan Profesor saja, yang selalu menggunakan dan membaca di perpustakaan ini!" Sindir Alenta kepada Deo.

Wajah Deo mendadak terlihat kosong, menghela nafas, "ya ampun," gumam Deo, "baiklah, dengar Alarrco, ini adalah ruang perpustakaan pribadi milik Profesor dan juga Alenta!" Seru Deo pelan, sebelah tangannya memegang batang ilalang di mulutnya.

Alenta menyambut dengan tertawa, "nahh, itu baru benar!" Ucap Alenta kepada Deo.

Deo hanya pasrah melirik Alenta, "yaaaaa! Gerutu Deo.

Alenta langsung melihat ke arahku, "Alarrco, kamu tunggu di sana dulu saja!" Alenta menunjuk ke salah satu sofa yang berada paling dekat dari tempat kami berdiri, "kami mau menemui Profesor, dan menyampaikan yang tadi kamu ceritakan kepada kami tentang mimpimu itu." Sambung Alenta dengan nada lembut.

"Akhirnya dia memanggilku dengan menyebutkan namaku juga," batinku merasa senang, "iya, baiklah," Aku pun berjalan ke arah sofa tersebut dengan sedikit senyum.

Alenta mengarahkan telunjuk kanannya ke arahku yang baru saja duduk di sofa, "ingat, jangan kemana-mana!" Alenta memperingati.

"Ya ampun, Alenta, kamu tidak perlu khawatir, kita kan hanya sebentar saja meninggalkannya di sini," Seru Deo.

Call mulai buka suara, "padahal, saat pertama bertemu dengannya tadi, dia tidak seperti ini!" Gumamnya pelan.

Alenta mengernyitkan dahi menatap Call, "kenapa kamu jadi ikut-ikutan seperti, Deo, Call." Cetus Alenta.

The  SaviorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang