BAB VII : MIMPI YANG MULAI TERJAWAB

9 2 0
                                    

Saat ini, di depanku sudah berdiri pria tua yang mungkin usianya sudah menginjak angka seratus tahun, karena ditandai dengan banyaknya keriput di setiap sudut wajahnya yang berwarna coklat itu.

Sementara, tingginya sama persis dengan tinggi Alenta, tapi, tubuhnya agak sedikit membungkuk.

Dan aku pun baru menyadari, ternyata pria tua yang membawa tongkat kayu berwarna cokelat, yang tinggi tongkatnya lebih tinggi darinya itu, ternyata sebelah matanya mengalamai kebutaan.

Itu terlihat jelas dari warna bola matanya yang berbeda, bola mata kanannya berwarna hitam dan terlihat normal, sementara, bola mata kirinya terlihat berwarna putih di keseluruhan bagiannya.

Tanpa dikomandoi, kami pun kini sudah berdiri berkumpul di tempat dimana tadi aku duduk pertama kali di ruangan ini.

Dan Alenta mulai kembali unjuk kebolehan dengan sihirnya.

Dia memindahkan tiga buah sofa panjang yang letaknya berbeda itu ketengah ruangan besar ini.

Sehingga sofa yang tadinya berjarak berjauhan satu dengan yang lainnya, kini sudah dibuatnya mendekat dan membentuk seperti huruf 'U' lengkap dengan satu meja di tengahnya.

Tidak lupa, dia juga menaruh lima cangkir putih yang beralaskan piring di atas meja kayu itu, serta dengan teko keramik yang kini ukurannya lebih besar dari teko yang pertama kulihat tadi.

*****

"Yaa, begitulah, Alenta, dia sangat senang sekali pamer kepada orang baru!" Ledek Deo.

"Aku tidak pamer, tau" Sahut Alenta kesal.

"Ya ampun, lalu itu barusan apa?" Sindir Deo.

"Aku hanya berinisiatif saja." Jawab Alenta.

"Masa sih?" Lanjut Deo.

Alenta cemberut, "YAA!" Jawabnya ketus.

Deo tertawa, "lagi pula aku cuma bercanda saja, jadi jangan cemberut gitu dong, hhaha!"

"Aku tidak cemberut tau, nihh aku tersenyum!" Kata Alenta, tersenyum lebar terpaksa, telunjuk kanannya menunjuk ke bibirnya sendiri.

Deo melirik Alenta, "kalau mau tersenyum itu harus ikhlas, jangan terpaksa seperti itu, wajahmu jadi terlihat lebar tau, haha." Lanjut Deo kembali tertawa.

"Biar saja, tapi aku tetap terlihat manis kan, iya kan, Call!" Seru Alenta kepada Call.

Call tampak agak kaget, "i... iya." Sahutnya terbata-bata, menggaruk kepalanya.

"Tuh kan benar!" Seru Alenta sedikit senang.

"Ya ampun, Call." Ucap Deo, menepuk jidatnya.

Sementara aku dan si pria tua ini hanya bisa tersenyum melihat kekonyolan mereka bertiga.

Alenta lalu mengarahkan kami dengan kedua matanya yang melirik ke arah sofa yang baru saja disusunnya, "sepertinya aku sudah menemukan tempat yang bagus!" Seru Alenta.

Deo langsung berjalan agak cepat ke arah sofa, "yaa, tentu, kamu memang sudah menemukan tempat yang bagus untukku tidur, Alenta, sepertinya aku memang agak sedikit merasa lelah!" Sahut Deo, membuang batang ilalang yang ada di mulutnya ke sembarang tempat.

"Aku akan tidur sebentar di sini!" Lanjut Deo, yang kini sudah sampai disalah satu sofa dan langsung membaringkan santai tubuhnya di sofa panjang itu.

Sontak, Alenta langsung mengacungkan telunjuknya ke arah Deo, "itu aku buat bukan untuk kamu tidur, tau!" uUcap Alenta, marah-marah.

Deo menunjuk sofa yang berada di sebrangnya, "kamu tidur di situ saja, dasar cerewet!" Jawab Deo ringan.

Alenta semakin kesal, "Deoooooo...!" teriak Alenta keras, "sofa itu aku susun bukan untuk ditiduri siapapun!" Alenta semakin berang.

The  SaviorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang