My Conqueror | Hujan

162 12 2
                                    

Aku benci hujan, kecuali jika hujan itu adalah kamu.
-Audrina Trixie-


Hujan turun begitu derasnya sore itu. Hujan, sesuatu paling mengerikan di sepanjang hidup Audrina. Jika orang lain menganggap bermain hujan-hujanan itu menyenangkan, maka tidak baginya. Jika orang lain akan segera menengadahkan tangannya dibawah tetesan hujan seperti saat ini, maka ia lebih memilih memasukan tangannya ke dalam saku rok.
Ketika perempuan lain sedang berusaha mengenyahkan kenangan indah di masa lalu yang terlintas ketika hujan turun, ia justru menginginkannya.

Salahkah bila hujan turun? Ah, yang benar saja. Kebencian, kebahagiaan, kesal, dan sedih, itu hanya ilusi yang diciptakan hati kita. Akibat dari semua peristiwa, kenangan, dan pengalaman dalam hidup. Manusia memang suka mengaitkannya dengan sesuatu yang bahkan kadang tak logis, seperti hujan. Sama seperti Audrina, kini pikirannya dipenuhi kenangan beberapa tahun silam.

Hujan sudah sangat sering menjadi saksi bisu berbagai kenangan. Padahal air-air itu hanya menetes dan tak bicara, tapi mengapa ia bisa menghadirkan semua ilusi dan kenangan yang sudah tertata rapi ditempatnya? Itulah hebatnya hujan.

Gadis yang kini rambutnya diikat satu itu menghela nafas panjang. Ia melirik ke arah jam tangannya. Sudah pukul setengah lima. Ibunya harusnya sudah menjemputnya saat ini. Hanya tinggal segelintir siswa yang masih berada di lingkungan sekolah. Sudah sejak satu jam yang lalu ia menyelesaikan makalah dan tetek bengeknya. Nana membuka ponselnya, melihat kembali pesan yang ia kirim pada ibunya dan masih belum ada balasan.

Karna sudah tak betah berlama-lama sendirian di pelataran kelas, ia memilih melangkah menerabas hujan di depannya, hendak menuju halte sekolah.

Dua tiga lompatan melewati genangan air, Nana berteduh lagi di bawah kanopi dekat perpustakaan. Seragam yang dipakainya masih setengah kering. Sambil mengangkat tas diatas kepalanya, ia memejamkan mata mantap, memutuskan untuk lanjut menerabas hujan. Untuk menuju halte, masih ada jarak cukup jauh dari tempatnya berdiri.

Baru satu langkah ia berjalan, Nana mendongakkan kepalanya. Ia merasa ada sesuatu yang menaunginya dari atas, menahan tetes hujan mengenai kepalanya. Dan benar saja, dirinya kini sudah ada dibawah payung besar berwarna hitam. Gadis itu berbalik. Mata cantiknya menyorot teliti payung itu dari atas sampai bawah, sampai pada tangan putih yang kuat mencengkram gagang payung.

Pemilik payung itu hanya diam tersimpul menatap Nana yang terkejut. Cowok itu rela membiarkan dirinya kehujanan.

"Kak Yuan?" ucap Nana dengan wajah terheran-heran.

"Besok kan ada latihan paskib. Lo ga boleh kehujanan gini Na. Jangan sampe sakit" ucap Yuan lembut.

"Eh, gapapa, payungnya dipake Kak Yuan aja. Haltenya udah deket kok."

"Mm.. Ya udah, gimana kalo kita payungan berdua aja? Gue juga mau ke toko depan halte, sejalan"

Merasa sungkan menolak tawaran ketua paskibra yang terkenal karna ketegasannya itu, Nana terpaksa menganggukan kepalanya. Ia juga tak mau basah kuyup.

Kini keduanya berada di bawah satu payung yang sama. Siapapun yang melihatnya pasti mengira mereka adalah pasangan remaja yang sedang jatuh cinta.

Tidak ada percakapan yang terjadi sepanjang mereka berjalan. Disaat jarak halte dengan mereka hanya tinggal beberapa meter, keduanya berhenti mendadak di tengah jalan. Nana tampak kebingungan bagaimana harus melewati genangan air yang hampir bagaikan danau dihadapannya. Sedangkan hujan masih belum reda sama sekali.

"Duh, gimana nih nglewatinnya. Airnya banyak banget. Nanti sepatu gue basah." Ucap Nana sambil mencincing roknya dan mencari-cari jalan yang tidak tergenang air.

My Conqueror [REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang