T i g a b e l a s

17.3K 932 8
                                    


 Ngerumpiin Hanna

    “Aku mau berangkat sekolah sama Teh Hanna!” Alin berteriak semakin keras ketika Mas Arsan melarangnya untuk jangan merepotkan Hanna.

Namun anak itu bersikeras ingin berangkat sekolah dengan Hanna dan bukannya denganku yang menjadi Ibunya.

“Iya, iya... Teteh anter kamu sekolah. Sekarang, mandi ya?” ucap Hanna.

Si Alin langsung antusias. Dia turun dari meja makan dan berlarian masuk ke kamar.

“Han, apa nggak merepotkan nunggu Alin sampai pulang? Kamu harus jaga butik, kan?” ujar Mas Arsan. Dari suaranya, menurutku sangat ramah. Berbeda jika sedang berbicara denganku, agak terpaksa dan ketus. Membuatku memutar bola mata dan lebih memilih menulikan pendengaran.

Kepala Hanna tergeleng dengan senyum tidak pernah luntur pada bibirnya. Kenapa dia murah senyum sekali dengan suami orang? Mau nikung? Uh!

“Nggak kok, Mas. Ada karyawan juga.” jawabnya.

Satu yang tidak kusuka pada Hanna. Dia memanggil Mas Arsan menggunakan Mas juga! Ingin sekali aku menanyakan, sebenarnya ada hubungan apa dengan Mas Arsan dan Hanna ini. Kulihat-lihat sepertinya agak akrab, apalagi dengan Alin. Bahkan sudah lebih dari akrab.

Mas Arsan menganggukkan kepala. Dia beranjak dari duduknya, “Yaudah, aku berangkat kerja dulu.” menatap pada Hanna dengan senyuman manis lantas menoleh padaku tanpa senyum.

Aku menatapnya lantas mengangguk, barulah dia mengucap salam dan berlalu dari meja makan.

Satu menit Mas Arsan pergi, Alin masuk ke dapur. Anak itu sudah rapi mengenakan seragam sekolahnya. Aku sempat terkejut melihat penampilannya yang rapi walau mengenakan seragam sendiri. Dia ternyata sudah agak mandiri, pasti itu didikan Mas Arsan. Tapi, ada satu yang kurang rapi. Rambut. Rambutnya disisir dengan tatanan asal-asal.

Alin lantas menghampiri tempat duduk Hanna. “Ayo Teh, kita berangkat.” ajaknya.

Hanna menyisir rambut Alin menggunakan jari-jemarinya. Wanita itu menoleh padaku, “Aku nganter Alin dulu ya, Mbak.” pamitnya dibalas anggukan olehku.

Mereka bergandengan menjauh dariku. Aku menatapnya miris lantas malas-malas kubereskan piring-piring berserakan. Ah, satu info untuk kalian. Hanna ini ternyata bisa masak. Aku sudah mencoba nasi gorengnya dan tidak kalah enak dengan masakanku.

***

Baru beberapa menit aku duduk santai di sofa sambil menonton FTV, Mas Arsan menggangguku. Dia memintaku untuk menjemput Alin karena Hanna harus ke butik, ada masalah pada tokonya. Buru-buru saja aku memesan taksi dan mandi.

Tiba di sekolahan Alin, aku masuk ke dalam. Kulihat Alin tengah bermain ayunan bersama teman-temannya yang sepertinya menunggu jemputan. Alin melihatku, dia berpamitan pada teman-temannya lantas menghampiriku dengan raut wajah tak enak.
  
“Aku mau eskrim!” tukasnya tiba-tiba.

Dahiku mengernyit. Datang-datang bukannya cium tangan malah menampilkan wajah tidak enak dan minta eskrim pula! Tidak tahu saja kalau aku cuma bawa uang cukup untuk membayar taksi.

“Aku nggak punya uang.” jawabku.

“Tapi aku mau eskrim!”

Alin ngodor minta eskrim, tapi aku tidak mengizinkannya. Bukan hanya masalah tidak ada uang yang membuatku tidak membelikannya eskrim, melainkan Mas Arsan. Dia sudah pesan padaku kalau Alin minta eskrim jangan dikasih kecuali si Alin sudah nangis berat dan tidak bisa tertolongkan.

Kulihat dia masuk kedalam taksi pesananku diakhiri deboman kuat dari pintu. Mataku kontan melotot. Usianya baru enam tahun tapi jika sudah ngambek, pintu mobil saja kalah. Aku masuk ke dalam, duduk di sebelahnya seperti biasa.

Married YoungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang