E n a m b e l a s

16.2K 954 36
                                    


Parasit

      Dulu, waktu masih duduk di bangku pendidikan, aku sangat menanti-nanti tanggal merah tiba. Karena disaat tanggal merah, sekolah akan di liburkan. Tapi untuk sekarang, hari ini, Jum'at, 25 April, aku jadi benci tanggal merah.

Mungkin aku tidak akan sebenci dan semarah ini pada tanggal merah, kalau saja hari ini si Han—, ah aku malas untuk memanggil namanya, anggap saja dia si pelakor sok alim itu tidak berkunjung ke rumah Mas Arsan. Masih mending berkunjungnya mengingat waktu, lah ini! Pukul tujuh pagi dia sudah datang dan membawa buah tangan yang isinya bubur untuk sarapan.

Aku yang pagi ini sudah membuat sarapan, jadi nambah naik pitam. Alhasil sarapan buatanku di abaikan oleh Mas Arsan dan Alin. Mereka lebih memilih menyantap bubur pemberian Han—, ah... Si pelakor sok alim, maksudku. Akhirnya aku ikut memakan bubur sambil menatap sendu pada nasi goreng sosis buatanku.

“Buburnya beli dimana sih, Teh? Kok bisa enak gini...” tanya Alin, mulutnya penuh dengan bubur. Pagi ini wajahnya sangat ceria, pasti karena kedatangan si pelakor sok alim. Apalagi Mas Arsan, dia jadi sering senyum, nada bicaranya juga jadi tidak ketus, dan itu juga pasti karena kedatangan si pelakor sok alim! Ah!

Sambil menyantap bubur dengan malas-malas, aku menatap si pelakor sok alim, lebih tepatnya menunggu jawabannya dari pertanyaan Alin.

“Hehehe, kamu bisa aja. Teteh bikin sendiri kok.” jawabnya agak malu-malu lantas menundukkan kepala. Iiih... Sok cantik lo!

“Waaaah, Teh Hanna hebat! Bikinnya gimana Teh, Alin boleh minta diajarin nggak?”

“Boleh, nanti kita bikin bubur bareng.”

“Kapan?”

“Eemmm, enaknya kapan yaa—,”

“Sekarang aja.” itu suara Mas Arsan.

Semua mata sontak menatapnya. Barusan dia bilang apa? Sekarang aja? Maksudnya, bikin buburnya sekarang? Disini? Tanganku meremas kuat ujung sendok. Kedua mataku sudah memanas dan sebentar lagi pasti akan meledak. Tapi aku berusaha untuk tenang. Tidak! Si pelakor sok alim tidak boleh melihat ketidaksukaanku terhadapnya. Bisa-bisa nanti dia malah balas dendam!

“Sekarang? Ini juga lagi makan bubur, masa sekarang, Mas? Memang siapa yang makan, coba?” balas Hanna. Ih! Sebenarnya aku malas memanggil namanya, sumpah demi apapun. Tapi karena nama julukan 'Si pelakor sok alim' terlalu panjang, lebih baik panggil nama saja.

“Ayah dong yang makan! Ya kan, Yah?” Alin menyahut.

Dibalas anggukan oleh Mas Arsan.

Sial! Mereka sama sekali tidak menganggapku ada. Hei, aku disini... Aku ibu rumah tangga di rumah ini, aku yang bertanggung jawab masalah dapur di rumah ini.

“Hmmm... Gimana kalo belajar bikin buburnya nanti buat makan siang aja, kita belanja bahan-bahan dulu, gimana?”

“Boleh juga.” sahut Mas Arsan. Dia tampak sangat setuju. Sedangkan Alin sudah lebih dulu menyerukan kata hore, padahal mulutnya penuh bubur.

Trakk!

Aku meletakkan sendok kasar hingga menimbulkan suara bising, lalu tanpa permisi kutinggalkan meja makan. Tidak peduli pertanyaan Hanna yang menanyakan aku mau kemana. Nggak usah sok baik lo, Hanna.

Masuk ke kamar, meraih ponsel diatas nakas lantas duduk di tepi ranjang. Jari jemariku menari indah diatas layar ponsel, tengah mengetikkan kalimat untuk membuat status di akun jejaring sosial Facebook.

Pintu kamar dibuka oleh seseorang, Alin masuk sambil bersorak riang, “Hore hore, mau ke kebun binatang, hore hore mau belajar bikin bubur... Hore hore...mau di mandiin sama Teh Hanna...” tidak berhenti bernyanyi walau sedang sibuk mencari sesuatu di lemarinya.

Married YoungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang