1. The Water Bottle

83 14 1
                                    

Love is like a blue. When you see that colour, you'll get a peace feeling. But if you see by the philosophy, you'll know that blue is the warmest colour. It means, love is peace, love is warm.

Seperti kebiasaannya, Aluna, si gadis SMA yang dalam bayangan teman-temannya bertubuh tinggi dengan badan proporsional, berjalan menyusuri koridor lantai tiga dengan langkah cepat di atas rata-rata orang normal. Jika orang lain biasanya hanya bisa melangkahi satu anak tangga, Luna bisa dua kali lipat. Entahlah, entah karena ia memiliki kaki panjang, atau memang nyaman berjalan dengan tipe seperti ini.

Langkah-langkah awal, Luna masih bisa mengimbangi derap kakinya dengan kestabilan kecepatan membawa beban tas di punggungnya. Namun, di langkah akhir saat mau memasuki kelasnya, X MIA 1, ia dengan spontan memberhentikan langkahnya saat mendengar suara dentuman keras dari dalam kelasnya.

Dengan rasa penasaran yang tinggi, dan juga karena mau mengambil tempat minum kesayangannya yang ketinggalan, ia pun harus memberanikan diri untuk masuk ke kelasnya. Lagipula itu kan kelas sendiri sih.

"Jauhi Sasha mulai sekarang, atau muka lo bakal bonyok gue pastiin!"

Mendengar gertakan dari seseorang di dalam kelas itu, membuat nyali Luna menciut, dan memilih untuk menunggu di luar kelas, sampai orang di dalam itu selesai bercekcok.

"Harusnya lo yang nyuruh cewek lo ngejauh dari gue! Dan asal lo tau, dia itu bukan kriteria gue," ketus seorang lelaki bertubuh tinggi, dengan rambut yang sudah basah terguyur keringat hingga Luna tak bisa mengenalinya. Tapi ia yakin, cowok itu adalah anak SMA Bina Bangsa, satu sekolah dengannya. Ditandai dengan simbol merah di kanan lengan bajunya.

"Bullshit! Lo pikir gue percaya?" Lawan bicara lelaki tubuh tinggi itu dengan seenaknya menendang perut lelaki yang belum terbukti bersalah itu.

Luna menggeram sendiri melihat si laki-laki pengecut yang menendang perut lelaki bertubuh tinggi itu. Dan ia semakin geram, kenapa lelaki tubuh tinggi itu tak mau melakukan perlawanan apapun.

Lelaki bertubuh tinggi itu tergeletak di depan papan tulis kelas Luna, dengan muka yang sudah membiru hampir ungu, serta di beberapa bagian sudah berlumur darah. Melihat pemandangan itu, Luna meringis ngilu.

"Lo pengecut ya, nggak ada perlawanan sedikit pun." Lelaki yang membuat Luna jijik melihatnya, meludah di lantai kelasnya, yang baru saja dia pel beberapa menit lalu.

Itu mungkin masih bisa termaafkan, tapi perlakuannya yang kali ini benar-benar membuat Luna semakin ingin menjambak rambutnya saja. "Dasar looser!" Lelaki itu mengambil tempat minum Luna yang berada di atas meja untuk melemparnya di kepala lelaki bertubuh tinggi itu.

"Tempat minum gue!" Tiba-tiba mulut Luna bersuara, membuatnya spontan menutup mulutnya dengan tangan.

"Siapa itu?" Luna akhirnya terciduk dengan lelaki jahat itu.

Untuk menghindarinya, ia pun memilih mundur. Namun sayang, sepertinya dia tak ahli dalam langkah mundur. Luna terduduk jatuh karena terinjak tali sepatunya sendiri yang terlepas.

Lelaki jahat itu keluar dari kelas Luna, dan berjalan mendekat ke arahnya. Luna mati kutu dibuat tatapan psikopat dari lelaki itu, hingga matanya memerah menahan tangis.

"Lo mau lari?" tanyanya dengan tawa receh, membuat bulu kuduk Luna terangkat.

Luna pun menyesal telah berteriak tadi. Andai saja dia tak balik ke sini juga untuk mengambil tempat minumnya, ia tak akan berada dalam bahaya seperti ini. Toh, tempat minumnya kan tidak akan hilang.

Laki-laki itu semakin mendekat ke arahnya.

Luna menutup mata sekencangnya, dan masih berharap kalau ada orang yang akan menyelamatkannya.

INTERMINABLETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang