Satu

27.6K 1.5K 50
                                    

.

.

.

Hidup itu memang penuh dengan keseimbangan. Hidup berkecukupan, sekolah lancar, karir lancar, tapi disisi lain keluargaku berantakan. Mama papaku berpisah. Kualitas hatiku juga tidak sebaik sekolah dan karirku. Terlalu banyak dendam dan sakit hati yang kupendam.

Papa Mamaku bercerai waktu aku umur delapan tahun. Masih jelas kuingat, waktu itu papa bertengkar hebat dengan mama. Dia bilang, kalau papa terpaksa menikahi mama karna balas budi kepada kakekku. Papaku juga bilang kalau dia lebih memilih wanita lain daripada mama.

Waktu itu aku hanya membatin. Kenapa pilih yang lain? Mamaku itu baik dan cantik. Tapi papa berkata lain. Dia lebih memilih menyakiti kami.

"Mas, mas, tolong jangan tinggalkan aku." Kemudian jeda sejenak karna isakan tangisnya sudah tak tertahan. "Ingat Nania mas. Dia masih kecil. Ingat.. hiks hiks."

"Asal kamu tau, aku dari dulu gak pernah ada perasaan sama kamu. Ini semua karna balas budi sialan. Gara-gara keluargamu yang bantu pengobatan bapakku, aku harus meninggalkan Sania dan menikahimu, Lara!" Papa menyentak mama dengan suara lantang.

Siapa Sania?

Waktu itu aku belum mengenal siapa Sania dan aku hanya bisa menangis sesenggukan dibalik pintu kamarku yang sedikit terbuka.

Aku menangis sendiri, hingga mataku bengkak, tenggorokanku kering dan mulutku terus mencecap asinnya air mataku. Tanganku terus menghapus air mata dipipiku, sesekali rok bergambar bebekku kuangkat untuk memyeka air uang menetes dari hidungku.

Papaku memang dingin dan kerap mengacuhkan kami. Tidak ada papa yang penuh cinta. Hanya ada papa yang sering diluar rumah.

Mungkin bersama Sania.

Aku hanya bisa menangis membandingkan perlakuan papaku dengan papa teman-temanku disekolah. Kata mereka, papa mereka sangat baik dan suka mengajak jalan-jalan. Sedangkan aku? Menyentuh tanganku saja papa jarang melakukannya.

Aku terus menangis.

Memangnya apa yang bisa kulakukan selain menangis saat itu?

"Maafkan aku mas Rendra. Tapi aku sangat mencintaimu. Jangan pergi..." mama terus menangis dan memohon agar papa tidak meninggalkan kami.

"Maaf Larasati, tapi kamu harus tandatangani berkas perceraian kita. Aku akan segera menikahi Sania. Dia sedang hamil anakku. Aku pergi sekarang." Suara papa merendah lalu aku mendengar suara pintu dibuka.

Aku berlari keluar kamar untuk mengejar papa. Kulihat papa sudah berjalan keluar rumah dengan menggeret sebuah koper besar.

"Papaa.. papa.." panggilku, tapi papa masih bergeming dan terus berjalan menuju pagar rumah.

Aku terus lari mengejar papa. Saat aku ada dibelakangnya, kudekap kaki papa. Aku benar-benar takut kehilangan papa. Meskipun selama ini dia jauh dariku, tapi bagiku itu lebih baik daripada aku benar-benar kehilangan papa.

Papa diam sejenak, lalu melepaskan tanganku yang melingkar di kakinya.

"Papaa.. jangan pergi pa .."aku terus menangis dan merengek.

Papa membalikkan badannya lalu berjongkok untuk menyamai tinggiku.

"Papa pergi dulu. Nania sama mama yha."

Sudah. Hanya itu yang papa ucapkan sebelum ia pergi dari rumah.

Dialog itu adalah ujung dari pertengkaran panjang kedua orang tuaku yang terus aku ingat sampai saat ini.

I'm Fine Without You!!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang