Part 1 (He leave me)
Air mataku kering, tangisku perlahan reda, bibirku yang bergetar Tak mampu menggucapkan seuntai kata lagi, semua kata kataku tak ada artinya. dia sudah pergi tanpa bisa kuhentikan, perlawananku tak ada artinya semuanya mengalir begitu saja tanpa dapat kuhentikan seperti bom waktu yang dapat meledak kapanpun.
"Dia pergi" gumamku hampa sambil menatap siluet Luke yang perlahan menghilang bersama cahaya matahari senja terakhir yang berpendar disekitar rimbunnya pepohonan.
"Seharusnya kau tau, itulah akibatnya menjadi anak pembangkang" ucapnya sinis seraya memilin rambut ikalnya yang indah tanpa sedikitpun tersirat perasaan bersalah dari raut wajah cantiknya yang hampir termakan usia.
"Kenapa?.......katakan padaku kenapa kau lakukan ini padaku?" tanyaku dengan gigi bergemeletuk menahan segala amarah yang telah membuncah dan membara bara di dalam ulu hatiku sembari mengocang goncang bahunya kasar.
Ia menyungingkan senyum indah khasnya yang membuat setiap insan terpesona pada jerat kecantikannya, tapi bagiku senyumnya tak lebih dari sekedar racun, racun yang menggikis setiap jiwaku dan menuntunku pada kehidupan yang semu dan mononton
"ini bahkan baru permulaan Luc, bersiap lah menjadi anak yang penurut kalau kau tidak ingin menderita lagi" ujarnya sendu seraya membelai pipiku lembut, seraya menghapus air mataku yang bercucuran, Sontak aku pun menyentakkan tangan nya kasar.
Dia mengubah senyumannya menjadi seringai kemudian ia mendekatkan bibirnya dan mensejajarkannya dengan telingaku, kurasakan hembusan nafas hangatnya mengenai leherku, membuat bulu kudukku meremang seketika."Karena aku tak menyukai pembangkang apalagi pemberontak" bisiknya lembut tepat di telingaku. Senyuman iblis pun tercetak sempurna di bibir merahnya sebelum meninggalkanku yang terpaku seakan akan membeku di tengah dinginnya udara malam.
"Tidak.... seharusnya ini tak terjadi" kugelengkan kepalaku sekuat kuatnya berharap semua hal buruk ini tak pernah terjadi padaku. Tanpa kusadari setetes air sebening kristal mencuat kembali dari kelopak mataku dan mengalir perlahan menuju kedua pipiku, bibirku bergetar tak mampu mengucapkan sepatah kata lagi, hatiku pilu dan kosong layaknya bulan yang kehilangan seluruh bintangnya. Kesepian, hampa, kosong, pilu, kesedihan semua rasa itu menghujam ke dalam hatiku bertubi tubi layaknya ribuan jarum tak kasat mata menghujam dadaku berulang kali. sakit
"Bangun Putri Luciana, paduka menunggu anda di ruang perjamuan" tiba tiba suara seseorang menyentakku secara paksa keluar dari alam mimpi burukku.
'Jleb' kubuka kedua kelopak mataku perlahan seraya menyesuaikan pupil mataku dengan intentitas cahaya pagi yang menerobos mataku seenaknya.
"Hanya mimpi" gumamku sambil menyeka pipiku yang basah oleh air mata yang tak sengaja ku tumpahkan di dalam mimpi. Itu terasa sangat nyata bahkan rasa sakitnya masih terasa, seolah semua bekas luka ini terbuka kembali, menjadi sebuah luka baru yang belum kering.
Entah kenapa, kenangan itu selalu datang menghantuiku kapan saja dan terkadang menghilang tanpa meninggalkan jejak sedikitpun untuk kutelusuri, layaknya hantu.'Apa mungkin aku terlalu merindukannya' batinku sembari meremas dadaku yang terasa nyeri, rasanya aku ingin menangis sekali lagi namun rasanya aku terlalu sedih sampai tak ada setetes air mataku yang mampu keluar lagi. Yang kubisa hanyalah meredam dan menyimpan perasaan ini lagi, lagi dan lagi. Aku berusaha belajar melupakan rasa rindu tak bertepi ini, namun tetap saja rasa rindu ini terus mengikatku dan selalu menjalar di hatiku.
"Maaf tuan putri sebaiknya anda segera bersiap" tegur Merry, salah satu butler terbaik di istana Lunaria sekaligus merangkap jabatan sebagai pelayan pribadiku. Aku menggangukan kepalaku lemah kepada Merry yang sibuk merapikan ranjangku yang berantakan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Associate Of Four Knight : Assault Lunaria
AventuraTerbiasa hidup mewah di kastil berlapis keindahan emas dan berliannya, membuat Luciana belum menggerti sepenuhnya tentang sebuah arti penderitaan. Namun, sebuah nasib sial yang menimpanya menuntun jiwanya pada sebuah kehidupan kelam yang belum pern...