Aku berdiri membereskan alat tulis, dan berjalan mengumpulkan lembar jawaban yang telah ku selesaikan. Di depan pintu, Bila sudah menunggu.
"Lama banget sih, De." gerutu Bila, saat aku ada di depannya. "Fisika gak usah serius-serius amat, paling juga gak akan diperiksa sama Pak Samsul."
"Tetep aja kali Bil, ngisinya jangan asal-asal banget, harus diitung juga."
Iya memang sih, banyak gosip-gosip yang beredar kalau Pak Samsul jarang sekali memeriksa hasil ulangan para murid. Tapi ya bagiku, mau diperiksa atau tidak, aku mengerjakan sebisanya saja. Sisanya ya tetap isi asal.
"Emang mau kemana sih, Bil? Kayanya buru-buru banget." tanya ku disela-sela kita berjalan.
"Ini gue mau ambil buku Kimia di loker. Besok kan jadwalnya Kimia."
Ku pikir ada yang lebih penting dari itu. "Ngapain harus buru-buru, Bila. Gue yakin deh anak-anak di ruangan sana pada belum selesai juga."
Setiap ujian ruangan akan dibagi menjadi dua kelas. Dan akan disatu ruangankan dengan adik kelas atau kakak kelas—karena aku masih kelas sepuluh ya otomatis sekelas dengan kelas sebelas atau tidak dengan kelas duabelas. Ruangan akan dibagi sesuai absen, absen 1 hingga 20 akan mendapatkan ruangan bernomor kecil. Yang nanti tempatnya yaitu berada di kelas sebelas atau duabelas.
"Gue sih yakinnya mereka udah pada keluar. Pelajaran Fisika ini."
Di tengah perjalanan menuju kelas, tanpa sengaja aku melihat dia dari arah berlawanan. Iya dia, laki-laki yang ku lihat minggu lalu saat acara pengajian. Laki-laki itu sepertinya memang pendiam. Cara berjalannya pun sangat berbeda dengan teman-temannya. Kepala yang ia tundukkan ke bawah dan juga tak banyak bicara seperti yang lainnya.
"De! Dean!"
Aku merasa tanganku tiba-tiba saja ditarik dengan kencang. Saat aku menoleh ternyata Bila sang pelaku utamanya.
"Kenapa sih, Bil? Sakit tau." kata ku sambil mengelus tanganku.
"Kenapa? Aduh, Dean. Lo tuh yang kenapa, jalan malah ngelamun! Kalau barusan gue gak tarik tangan lo, mungkin lo udah kejedot tembok."
Ah, untuk yang kedua kalinya laki-laki itu bisa membuatku tak sadar akan sekitar.
"Sorry, sorry. Kenapa, Bil?"
"Gak ada, lupain aja."
● ● ●
"Nah, kan De, apa gue bilang, Fisika jangan dibawa serius. Anak-anak di sini aja udah pada keluar."
Aku hanya mengangguk kepala saja. Malas kalau harus berdebat lagi soal—jangan terlalu serius mengerjakan Fisika dengan Bila.
"Yaudah, balik yuk Bil!" ajak ku, saat Bila sudah membawa buku Kimia nya.
"Ke kantin dulu ya, De." Bila mengelus perutnya sambil nyengir. "Gue laper."
"Yaudah ayo!"
● ● ●
Sesampainya di kantin, aku tak sengaja bertemu dengan Iqbal—teman semasa aku berseragam putih biru.
"Hai, De!" sapa Iqbal saat aku melewatinya.
"Hai, Bal." aku menyunggingkan senyuman ku.
"Sini gabung De!"
Iqbal menawarkan ku untuk bergabung dengan teman-temannya yang langsung ku tolak, karena tak enak rasanya ikut bergabung dengan kumpulan anak laki-laki.
"Thank buat tawarannya, tapi kayanya gue duduk di tempat lain aja. Lagian gue sama teman." tolak ku sambil disertai senyum.
"Oke deh." jawab Iqbal.
Saat aku berjalan meninggalkan meja Iqbal dan teman-temannya, tanpa sadar pandangan ku menangkap sosok yang tak asing duduk bersama dengan Iqbal. Laki-laki yang sama, yang ku lihat minggu lalu dan beberapa menit yang lalu.
Laki-laki yang bahkan belum ku ketahui namanya, namun mampu membuatku tak sadar akan sekitar. Dan aku sadar bahwa aku mulai tertarik dengan dirinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Diam
Short Story[#100 in trueshortstory - 080718 #134 in trueshortstory - 250618] Yang bisa ku lakukan hanya Melihatmu dari jauh Mencintaimu dalam diam Dan berharap dalam doa. Apakah akan indah jika waktu mengubah segalanya? Atau harus kah aku sadar? Bahwa ini buk...