Ulangan akhir semester telah berlalu. Tinggal menghitung hari menuju pembagian raport semester ini. Aku berharap raport ku bagus walau tak masuk peringkat.
"De, makan dulu yuk!" Bila menarik tanganku yang sedang memegang ponsel.
"Ya ampun, Bil. Bentar dong, nanti hp gue jatuh lagi."
Bila melepaskan tangannya dari tanganku. "Abis kalau gak ditarik kayanya lo gak akan denger." Bila melirik penasaran ke arah ponsel yang sedang ku pegang.
Aku menyadari gerakan itu. "Apa sih, Bil! Kepo banget!" ujarku lalu sedikit berlari kecil menuruni anak tangga meninggalkan Bila.
"Heh! De, kok gue ditinggal!" gerutu Bila, lalu mengejarku.
Hari ini aku sedang berada di rumah Bila. Rumah Bila sudah ku anggap seperti rumah kedua ku, begitu juga dengan Tante Meli dan Om Andi—orang tua Bila yang sudah ku anggap sebagai orang tua ku juga.
"Menurut lo De, gue bakalan masuk peringkat gak ya?" tanya Bila disela-sela makan.
Aku mengangkat bahu tanda tak tahu.
"Ih, kok malah angkat bahu sih!"
"Terus harus gimana, Bila? Jangankan peringkat lo, peringkat gue sendiri aja gue gak tau."
Karena sudah ku bilang kan, aku tak begitu peduli dengan peringkat. Asalkan nilai raport ku bagus, aku sudah bersyukur.
Selesai makan, kita kembali ke kamar Bila. Aku membaringkan badanku menatap langit-langit kamar Bila.
"De." panggil Bila disela aku sedang asik menatap langit-langit kamarnya.
"Apa?" jawabku tanpa menoleh ke arah Bila.
"Lo lagi suka sama cowok ya?"
Pertanyaan Bila sukses membuatku berhenti menatap langit-langit kamar dan menoleh ke arah pemilik ruangan ini.
"Suka sama cowok? Ngaco ah!" jawabku kembali menatap langit-langit kamar.
"Dean. Kita temenan bukan satu atau dua hari kemarin, kita udah temenan lebih dari sembilan tahun! Dipikir gue gak tau lo kaya gimana."
"Emang gue kaya gimana?"
Bila berdecak. "Pura-pura bego nih anak. De, akhir-akhir ini lo sering ngelamun kalau lagi jalan. Gak tau deh, lo ngelamunin apaan. Apalagi kalau gak sengaja ketemu sama kumpulannya siapa sih itu temen lo yang ada di kelas ipa 3?" tanya Bila disela-sela penjelasannya.
"Iqbal."
"Nah! Iya, itu si Iqbal. Gue yakin sih De, salah satu dari temen Iqbal ya, orangnya?" tatap Bila curiga.
Ditatap seperti itu, aku jadi kelabakan sendiri. "Eh, eng ... apa sih Bil!"
Melihat reaksi ku, Bila malah tertawa dan semakin menggodaku.
"Cie Dean! Siapa orangnya siapa? Ganteng gak? Tinggi gak? Putih gak?""Ih Bila apa sih, gak jelas banget itu pertanyaan!"
Bila berhenti tertawa lalu menegakkan badannya.
"Oke, oke. Gue nanya serius, jadi temennya Iqbal kan yang lo suka?"Aku ikut menengakkan badanku dan mengangguk ragu ke arah Bila. Melihat anggukan ku, Bila tersenyum.
"Namanya siapa?"Aku berdeham. "Sebenernya, gue belum tau nama dia siapa."
Bila menaikkan alisnya saat mendengar kalimat yang baru saja aku lontarkan. Sebelum dia berkata, cepat-cepat aku melanjutkan kalimat ku.
"Tapi kayanya gue cuman penasaran aja sama dia. Soalnya dia beda, dari temen-temennya."
"Jadi lo ngerasa cuman penasaran?"
Aku mengangguk.
Bila tersenyum. "Oke, ayo kita cari tau siapa nama cowok itu!"
Aku menatap Bila bingung, tak mengerti maksud perkataannya.
"Kali aja rasa penasaran lo nanti berubah." ucapnya disertai senyum jahil.
KAMU SEDANG MEMBACA
Diam
Short Story[#100 in trueshortstory - 080718 #134 in trueshortstory - 250618] Yang bisa ku lakukan hanya Melihatmu dari jauh Mencintaimu dalam diam Dan berharap dalam doa. Apakah akan indah jika waktu mengubah segalanya? Atau harus kah aku sadar? Bahwa ini buk...