Seharusnya sekarang ini, aku berada di dalam kamar ku. Mendengarkan musik sambil meneruskan novel yang belum selesai aku baca.
Sepulang sekolah tadi, tiba-tiba Kak Alma—ketua ekskul Padus memberitahu hari ini akan ada rapat pembahasan untuk acara PKDB—Pelepasan kelas dua belas. Karena aku salah satu anggota dari ekskul Padus mau tak mau, aku harus mengikuti rapat.
"Yaudah, untuk sekarang mungkin itu aja yang bisa gue sampaikan. Selebihnya mungkin nanti bakalan diinfokan lagi di grup chat." ucap Kak Alma, menutup rapat hari ini.
Selepas pamit kepada beberapa anggota yang lain, aku berjalan meninggalkan ruang musik.
Ketika aku sedang berjalan, tak sengaja aku berpapasan dengan Iqbal.
"Hai, De!" sapa Iqbal. "Kok tumben masih di sekolah?"
"Iya nih, tadi ada kumpulan ekskul dulu." jawabku.
Melihat Iqbal menggunakan baju basket rasanya aku tak perlu bertanya mengapa dia masih berada di sekolah.
"Gue duluan ya, Bal!" menyadari bahwa hari mulai sore.
"Oh oke."
Saat aku akan melangkah, tiba-tiba Iqbal menggenggam tanganku. Refleks aku berbalik menghadapnya.
"Ah, ada yang mau gue omongin De, boleh?" ucapnya sambil melepaskan tangannya.
Aku sedikit bingung, tapi aku mengangguk juga. "Kenapa?"
"Gini De, beberapa bulan ini gue suka liat lo ada di depan kelas tiap istirahat siang."
"Em, iya kenapa emang?"
"Gue bukan geer atau apa ya. Tapi lo merhatiin gerombolan gue? Atau apa gue salah?" tanya Iqbal dengan hati-hati.
Mendengar apa yang Iqbal ucapkan, aku tak tahu harus berkata apa. "Ah itu, em gak ..."
Iqbal tertawa. "Tenang, Dean. Muka lo jadi kaya orang yang baru aja ketauan maling loh."
Aku kesal melihat Iqbal dan juga mendengar tawa sekaligus ucapannya itu. "Tapi gue gak merhatiin lo kok, sumpah deh!"
Tawa Iqbal malah makin menjadi. "Jadi, bener ya lo suka liatin gerombolan gue?"
"Eh? Astaga! Bukan gitu." tanpa sadar aku merasa bodoh juga kesal mendengar perkataannya.
"Udah kelewat ngaku tanpa sadar, De." Tawa Iqbal mereda.
"Iya, tapi yang jelas gue bukan merhatiin lo ya!" ucapku, takut-takut nanti Iqbal malah salah paham.
"Iya, iya, De. Tau kok gue. Jadi, siapa yang lo liatin diantara gerombolan temen gue?" tanyanya.
Apa aku harus menjawab pertanyaan Iqbal? Memberitahunya bahwa beberapa bulan ini aku memang memperhatikan salah satu temannya.
"Maksud gue sih, siapa tau kalo lo ngasih tau siapa orangnya. Mungkin setidaknya gue bisa bantu?"
Sebenarnya aku tak pernah berpikir untuk meminta bantuan atau hal semacam "makcomblang" seperti ini. Walau memang dalam hati aku ingin bisa dekat dengan Mika.
"Yaudah deh, De. Gak apa-apa kalo gak mau bilang."
Iqbal melangkah ke arah ku, menghapus jarak antara aku dan dirinya. Tiba-tiba saja Iqbal mencondongkan badannya.
Aku kaget dengan apa yang Iqbal lakukan. Refleks aku mundur menjauhinya. Namun, tanganku cepat-cepat digenggam olehnya.
"Tapi tanpa lo bilang, gue udah bisa nebak siapa cowok yang suka lo perhatiin itu. Mika kan?"
Aku makin terdiam saat mendengar apa yang baru saja Iqbal katakan.
Iqbal melepaskan genggamannya dan melangkah mundur menjauhiku.
"Gue bener kan, De?""Apa sejelas itu ya?" bukannya menjawab pertanyaan Iqbal, aku malah balik bertanya.
"Maksudnya?" tanya Iqbal bingung.
"Apa jelas itu, gue terlihat selalu memperhatikannya? Sampe-sampe orang di sekitar gue bisa ngebaca jelas. Apa sebegitu terbacanya sikap gue ini?"
Entah aku harus senang atau sedih. Apa aku tak bisa menyembunyikan perasaan itu? Siang tadi Bila dan sekarang Iqbal. Apa sebegitu terbacanya aku ini?
KAMU SEDANG MEMBACA
Diam
Short Story[#100 in trueshortstory - 080718 #134 in trueshortstory - 250618] Yang bisa ku lakukan hanya Melihatmu dari jauh Mencintaimu dalam diam Dan berharap dalam doa. Apakah akan indah jika waktu mengubah segalanya? Atau harus kah aku sadar? Bahwa ini buk...