"Itu yang kita sebut dengan perjumpaan tanpa permisi.
Yang meninggalkan jejak di hati, tanpa diketahui secara pasti.""Bang, Bang, kiri Bang!" Teriak Tata panik ketika menyadari jalan besar yang baru saja dimasuki oleh angkutan umum yang dinaikinya sudah jauh melewati sekolah. Gara-gara jalan utama yang menuju sekolahnya sedang diperbaiki, angkutan umum yang Tata naiki terpaksa harus masuk lewat jalan-jalan tikus.
Ah, bisa telat nih gua.Tata melihat jam di pergelangan kirinya, sudah pukul 06.45. Bel sekolah 5 menit lagi akan berbunyi, 10 menit berikutnya gerbang mulai ditutup, dan 15 menit selanjutnya guru piket akan mulai membagikan absesi ke kelas-kelas. Tata berlari secepat yang Ia bisa. Tata tak boleh telat, sama sekali tidak. Ini baru minggu ketiga Ia masuk SMA dan perjanjian yang Ia buat dengan orang tuanya adalah tidak boleh telat sama sekali selama tiga bulan penuh.
Bagian belakang Sekolah Menengah Atas Wijayakusuma mulai terlihat. Gedung megahnya yang dikelilingi pagar berjeruji lancip diatasnya mulai nampak jelas. Tata mengatur napasnya yang tak beraturan, Ia sudah tiba di depan pagar gedung parkiran. Sekali lagi Tata melirik arlojinya, sudah pukul 06.56, bisa dipastikan gerbang sudah tertutup satu menit lalu. Huh! Ia mendengus, kemudian mulai berjalan bolak-balik. Sejurus kemudian ide cemerlang datang. Tak jauh dari sana ada pedagang makanan. Tata tersenyum kemudian berlari ke arah penjual itu.
"Ibu, permisi, maaf kursinya boleh saya pinjam untuk naik pagar itu ga Bu?" Tata menunjuk sebuah pagar yang lebih rendah dibanding pagar lainnya. Pagar pembatas parkiran memang belum sempat direnovasi untuk ditinggikan, berbanding terbalik dengan pagar keliling sekolah yang sudah menjulang.
Sang Ibu penjual meneliti penampilan gadis di depannya. Berantakan dan kacau, itulah kata yang tepat untuk Tata saat ini. Beberapa bulir keringat mulai turun dari pelipis ke pipi mulusnya, sebagian membuat poni dan anak rambut lainnya basah.
"Saya habis lari Bu dari daerah ruko Belibis. Tadi angkot yang saya naikin lewat jalan tikus, soalnya ada jalanan yang diperbaiki. Pas udah masuk jalan besar eh malah udah kelewatan jauh sama sekolah Bu. Gimana Bu, boleh ga?" Tanpa diminta Tata lansung menjelaskan panjang lebar.
Sang ibu akhirnya mengangguk pasrah, Ia menyodorkan kursi yang sedang didudukinya. Tata menyambar kursi putih itu dan menyodorkan lembaran uang dua puluh ribuan. "Ini buat Ibu, Makasih ya Bu udah mau bantuin saya. Saya ga akan melupakan jasa pahlawan Ibu." Si Ibu hanya tersenyum, menyerahkan dua bungkus lontong isi, sembari menolak halus lembaran uang yang diberikan Tata.
"Buat kamu aja. Sekalian ini dimakan ya. Pasti capek habis lari-larian."
"Terimakasih banyak Ibu, You're my hero. Pokok e pancen oye." Tata tersenyum, mengambil dua lontong isi ke tas ranselnya, lalu berlari kecil ke gerbang gedung parkiran.
Kursi putih hasil pinjamannya sudah bertengger manis didinding pagar. Tata mulai menaiki kursi, matanya menjelajahi area parkiran yang konon katanya selalu dijaga tim pendisiplin OSIS untuk menjaring siswa telat dan masuk ke sekolah lewat pagar -seperti yang sedang dilakukannya. Tidak ada siapapun. Sip, aman.
Satu tangannya berpegangan jeruji pagar, satu tangan yang lain mencapai bagian dinding antar pagar. Tata menapakkan kakinya perlahan, rok span selutut membuatnya sulit melangkah lebar. "Hei!" Teriak seseorang dari ujung parkiran. Tata mendongak. Oh no!. Ia mendapati seorang Pria dari ujung parkiran berlari menuju tempatnya. Gawat! Ia bisa tertangkap bila berlama-lama menempel pada pagar ini
Langkah kaki pria itu semakin menderu. Tata panik, Ia akhirnya memutuskan untuk meloncat. Dan, "Aw!" dirasakannya rok span bagian belakang miliknya sobek karena tersangkut salah satu jeruji pagar. Tata refleks berdiri dan merapatkan tubuhnya ke pagar yang tadi ia panjat. Tangan kanannya terjulur ke belakang meraba sobekan roknya. Second oh no!. Sobekannya setangah dari panjang roknya. Tata semakin panik. Pria yang berlari tadi kini persis didepannya."Kamu tahu jam berapa ini?" Tanya si pria jangkung sambil mengatur nafasnya.
Tata hanya diam. Bukan karena Ia tak tahu jam berapa sekarang. Tapi pria ini aneh, dia sedang berbicara pada Tata, tapi tatapannya ke arah bawah. Natap tanah? Tata mengikuti arah tatapan Pria jangkung ini. Normal. Tidak ada apa-apa di tanah. Matanya lalu naik dan fokus pada nametag yang menuliskan nama M. Andreas, Divisi kedisiplinan OSIS.
"Kamu tahu jam berapa ini?" pertanyaan yang sama, dan lagi-lagi Andre tak menatap lawan bicaranya itu.
"Tahu Kak, jam ..." Tata melirik arlojinya. "07.07"
"Kamu terlambat, tapi masih dalam waktu toleransi. Nama panjang dan kelas?"
"Aistya Fadilla. Kelas X.3"
"Oke. Sekarang ikut saya ke ruangan OSIS untuk ambil surat keterlambatan, lalu kamu bisa masuk kelas." Andre mundur selangkah merentang jarak. Ia merogoh isi tasnya dan menyodorkan sesuatu. "Dan, silahkan pakai ini."
"Hah? Sarung? Buat apaan?"
"Kamu lebih anggun pakai rok panjang dibanding rok span mini yang robek dibagian belakangnya". Tata merasakan wajahnya memanas, rona mukanya bisa dipastikan merah padam. Ia malu setengah mati, ditambah perkataan Andre yang entah mengapa membuat hatinya berdesir. Seperti kupu-kupu berhambur dari dalam perutnya. Ia Anggun?
"Di-double aja roknya pakai sarung. Tahu cara pakai sarung kan?" Tata sudah membuka mulutnya, hendak menjawab tidak, tapi Andre sudah membalik badannya. "Kalau udah dipake bilang ya." Mulut Tata yang sudah terbuka semakin menganga. What? Dipakai disini?
Tata menghembuskan nafasnya. Baiklah, Ia tak mau memperpanjang keterlambatannya dengan berdebat dimana Ia harus memakai sarung. Tata meletakkan tas di samping badannya dan mulai membuka lipatan sarung Andre. Ia memasukkan kain berwarna Biru tua itu dari kepalanya, meloloskannya hingga ke pinggang. Ia mengikat asal dan melipatnya karena kebesaran. Persislah Ia seperti ibu-ibu hamil karena buntalan lipatan kain yang membesar di bagian perutnya. "Udah kak."
Andre membalikkan badan. Tata menatap wajah Andre mencari celah kapan Andre akan menatapnya. Namun Andre hanya menatap Tata dari kaki hingga pinggang. Tata sempat mendengar tawa kecil Andre, sebelum Andre akhirnya memutuskan melangkah lebih dahulu. "Ke ruang OSIS." Tata hanya bisa mendengus lalu mengiringi langkah kaki Andre.
Kurang dari lima menit, mereka sudah tiba di ruangan yang paling besar dibandingkan dengan deretan ruang ekskul lainnya. Ruang OSIS memang berada cukup dekat dengan parkiran. Tata melepaskan sepatunya dan masuk ke ruangan mengikuti Andre. "Eh kamu tunggu di luar aja."
"Hah?" lagi-kagi Tata tak mengerti. "Kenapa?"
"Biar ga perlu repot-repot lepas sepatu."
"Lah udah terlanjur kok."
Andre hanya diam tak menjawab. Ia menunduk menulis sesuatu dan dengan cepat meletakkannya di sisi ujung meja. "Ini surat terlambatnya" Andre berdiri dan menuju kotak P3K yang tergantung di sudut ruangan. Ia mengambil dua buah handsaplast dan menaruhnya di atas surat keterlambatan. "Jangan lupa dibersihkan sebelum diplester, dan silahkan menuju kelas." Tata kesal, lagi-lagi Andre tak menatapnya. Ditambah Andre tak memberikan surat dan plesternya langsung, malah menaruhnya di ujung meja. Tata menghembuskan napas. Ia langsung berjalan menuju kelasnya tanpa minat untuk mengenakan sepatu -yang hanya Ia injak, dengan benar. Pagi yang aneh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hijrah Cinta : Anomali
Espiritual#250 in spiritual | 19 Desember 2017 Update setiap malam minggu. Menemani kamu kamu yang singlelilah ❤ Bila aku mampu menjadi sebuah anomali. Would you like to stay close and don't go Andreas? -Aistya Fadilla (Tata) ----- Karena kamu pun sudah merub...