Upacara hari senin tak pernah berlangsung khidmat. Selalu saja ada beberapa siswa nakal yang mengganggu jalannya upacara dengan penuh konsentrasi. Biasanya mereka berada di barisan paling belakang. Alih-alih mengikuti jalannya upacara bendera, mereka lebih senang bergurau atau mengganggu siswa lain yang ada di dekat mereka. Dan sialnya, Haruka berdiri di barisan belakang sekarang.
"Hai orang sinting!" cibir seorang lelaki tambun yang di susul kekehan dari temannya yang kurus kering.
Haruka tidak menggubris cibiran semacam itu. Lagi pula, kalimat itu terlalu klise untuk di tanggapi. Gendang telinganya sudah kebal. Ocehan semacam itu sudah di anggap sebagai kotoran yang nyangkut di saluran telinganya. Mau di tumpas atau tidak, tidak berdampak apapun. Namun, jika cibiran itu di tujukan untuk mendiang orang tuanya, maka ia takkan tinggal diam.
"Orang tuanya pasti sama sintingnya dengan anaknya. Haha ..." timpal temannya yang kerempeng.
Haruka sudah bersiap membalas ejekannya. Lelaki gempal dan sekutunya yang kerempeng itu takkan bisa diam sebelum mulutnya di ganjar.
Menyadari sahabatnya terbawa emosi, Diana segera menarik tangan Haruka supaya tetap diam dalam barisannya.
"Biarkan saja, Ruka. Kau hanya menghabiskan waktu membalas mereka," pungkas Diana.
Haruka mendengus kesal sebelum akhirnya menuruti saran Diana.
Kesal rasanya ada orang yang menghina orang tuanya seenak jidat. Ia pun 'tak pernah mengingat rupa orang tuanya barang sekalipun, apalagi mereka. Orang tuanya sudah meninggal sejak kecil. Nenek bilang, ibunya meninggal karena pendarahan saat melahirkan dan ayahnya meninggal tak lama setelah kepergian sang istri. Seringkali Haruka berpikiran bahwa kelahadirannya dalam kehidupan ayah ibunya merupakan malapetaka hingga harus merenggut nyawa sang ibu. Namun, nenek menepis jauh prasangka itu. Ia bilang setiap anak adalah anugrah terindah dari tuhan dalam sebuah keluarga. Perihal kematian ibu, itu adalah takdir.Setelah hampir setengah jam, akhirnya upacara selesai. Seluruh siswa bubar. Namun, tiba-tiba terdengar sebuah pengumuman dari microphone. Semua mendadak diam mematung untuk mengindahkan isi pengumuman tersebut. Barangkali ada hal penting yang tidak boleh mereka lewatkan.
"Kepada siswa yang bernama Haruka dan Diana ditunggu kehadirannya di ruang BK. Terimakasih."
Semua yang mematung mendadak gelapan mencari gadis yang belakangan ini sedang tersandung masalah. Mereka pasti ingin menerornya dengan tatapan tidak suka.
Merasa terpanggil, Haruka dan Diana segera beranjak dari lapangan menuju ruang BK. Mereka siap mempertanggung jawabkan perbuatannya, karena ini adalah resiko yang mereka pilih sebelumnya.***
Setelah berjalan menyusuri koridor, melewati beberapa ruang kelas dan orang-orang yang menatapnya aneh, akhirnya ia sampai di ruang Bimbingan Konseling. Haruka memberanikan diri untuk masuk lebih dulu. Di dapatinya seorang pria paruh baya di balik tumpukan berkas usang. Kelihatannya ia sedang memilah milah berkas itu dan memindahkannya ke suatu tempat.
"Eh, kalian. Cepat masuk!" Ia mempersilahkan mereka masuk setelah memergoki keduanya sedang memperhatikan di depan pintu. Haruka merasa bersalah karena tak sempat mengucapkan salam dan malah memperhatikannya dari pintu. Ia kira tidak ada siapapun disana.
Guru BK, Pa Rufi menghampiri mereka lalu duduk di kursi tamu. Mereka ikut duduk setelah Pak Rufi mempersilahkannya. Entah mengapa firasat buruknya mengenai Pak Rufi hilang begitu saja saat melihat sosoknya yang ramah.
"Bapak dengar kalian membuat masalah sampai membuat Bu Sarah marah. Apa itu benar?" Ia menegakkan tubuh dan jemarinya saling bertautan di atas paha--memulai konsetrasi untuk mendengar penjelasan mereka.
Haruka tersenyum sejenak mencoba menenangkan diri sebelum menceritakan apa yang sebenarnya terjadi.
***
Fairuz terus berdiam diri di tempat duduknya. Jarang-jarang ia jadi pendiam seperti ini. Biasanya orang seperti dia itu sering melakukan interaksi sosial dengan sesamanya. Entah itu sekedar berkunjung ke tempat duduk lain, main game online dengan teman sebayanya atau memberi intruksi kepada para pengurus organisasi kelas untuk mengerjakan tugasnya dengan baik.
Fairuz ini sudah di anggap sebagai sesepuh kelas oleh teman temannya. Pasalnya sifatnya yang cenderung keibu-ibuan (menurut teman-temannya) menjadikan kelas lebih disiplin dan teratur. Meski begitu, ia juga mempunyai karakteristik tegas dan bijaksana. Itulah alasannya mengapa teman-temannya menunjuk Fairuz sebagai ketua murid di kelas.
"Lapor, Pak Virus. Hari ini alat-alat kebersihan kita tiba-tiba menghilang. Padahal kemarin masih ada di kelas. Sepertinya ada siswa dari kelas lain yang mencurinya," ujar seorang gadis yang berdiri tegak menghadap Fairuz.
Virus adalah nama panggilannya. Menurut teman-temannya, namanya terlalu panjang dan ribet. Maka mereka menyingkatnya menjadi Virus.
Gadis itu menyelidiki wajah tuannya. Ia terlihat gelisah. Entah apa yang sedang di pikirkannya.Merasa khawatir dengan keadaan Fairuz, gadis itu menepuk pundaknya-menyadarkannya dari lamunan. Fairuz tersentak saat mendapati seseorang gadis berada di hadapannya.
"Eh, Git. Ada keperluan apa?"
Bukannya menjawab, gadis bernama Sagita itu malah balik bertanya."Kamu kenapa? Baik baik aja, kan?"
Fairuz membetulkan posisi duduknya menjadi lebih tegak. Ia juga berusaha bersikap sewajar mungkin untuk menutupi kegelisahannya."Ya, aku baik baik saja," sahutnya.
Gadis itu malah menyelidikinya sambil menjentik-jentikan telunjuk ke dagunya. Ia malah memasang wajah curiga.
Melihat Sagita yang seperti itu, lantas Fairuz segera membelokkan percakapannya.
"Kamu mau laporan apa tadi?"
"Hm ... jadi gini, alat-alat-" Belum juga selesai bicara dengan Fairuz, tiba tiba seseorang datang mengetuk lalu membuka pintu kelasnya.
"Apakah ada Fairuz disini?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Haruka
ParanormalGenre : Paranormal // Fantasy// Romance Kisah cinta yang mulai terajut antara Haruka dan Fairuz rupanya menjadi awal sebuah permasalah besar dimulai. Rasa iri yang teramat sangat, membuat sebuah jiwa larut dan terbakar dalam nestapa yang amat mendal...