19

54.5K 13.2K 1.9K
                                    

"Loh? Kok udah sekolah lagi sih?" seru Mark begitu memasuki pintu kelas.








Ia kaget melihat Esther sudah menempati bangkunya di kelas Matematika pagi ini.
Bahkan cewek itu datang lebih pagi dari Mark, seakan-akan kemarin tidak terjadi apa-apa ㅡpadahal sejujurnya Mark kira Esther tidak akan 'selamat' saat itu.

"Berisik, Murgly," timpal Esther saat Mark menghampirinya.
Ia melempar senyum tidak enak pada seisi kelas yang tadi menatapnya gara-gara Mark.

Mark menyentuh jidat Esther dengan punggung tangannya.
"Hmm... Normal."

"Murgly," Esther menepis tangan Mark. "Diliatin orang!"

"Mencurigakan..." Mark mengurut dagu. "Jangan-jangan kemaren cuma acting ya? Biar dianterin pulang?"

"Enak aja! Lagian siapa yang minta dianterin? Siapa yang maksa nganterin?"

Mark malah tertawa cekikikan.
"Nah, udah galak berarti emang udah sembuh," ujar Mark. "Jangan sakit lagi ya, aku kan khawatir~"

"Halah ngomong apa," Esther salah tingkah.

"Heh, ngegombal mulu," ketua kelas menoyor kepala Mark dari belakang. "Itu udah ada guru, pergi sana."

Benar saja, guru matematika sudah memasuki ruangan. Mark segera meninggalkan bangku ketua kelas dan melambai pada Esther yang tidak peduli.







Sepanjang jam pelajaran tentang limit yang membosankan, Mark lebih tertarik melamun sambil melihat ke luar jendela.

Sesekali dia melirik Esther, mengingat kepanikan yang terjadi kemarin dan sekarang mengilang tanpa bekas. Bagaimanapun, percakapan saat mengantar Esther semalam sangat mengganjal dan membuat Mark agak khawatir.

Memangnya Esther sakit apa sih sampai perlu dirahasiakan?

Dan alat kotak yang terpasang di dadanya, apa sebenarnya itu?
Apa mungkin penyakit Esther ada hubungannya dengan benda aneh itu?

Atau jangan-jangan Esther seorang robot? Atau android? Terminator?

Mark melirik Esther lagi.
Tidak ㅡterlalu cantik untuk ukuran terminator. Ehehehe.

Diam-diam Mark menutup mulutnya dengan tangan supaya tidak ketahuan sedang cengar-cengir sendiri sambil mencuri-curi pandang ke arah Esther di seberang ruangan.

Wajah Esther memang setiap hari sudah pucat, jadi hampir tidak bisa dibedakan kalaupun ia pucat karena sakit. Mark harap Esther benar-benar sudah baik-baik saja.
Saat ini cewek itu tampak sangat sehat, padahal kemarin seperti sedang sekarat.

Kalau saja kemarin tidak ada Alice, mungkin Mark akan percaya saja seandainya Esther bilang kejadian kemarin hanya mimpi. Pasalnya tidak ada saksi mata lain dan sekarang semuanya sangat baik-baik saja.

Entah kebetulan atau apa, Mark menangkap sosok Alice Kim di lapangan basket. Kelas akselerasi sepertinya sedang jam olahraga.
Mark menonton dari balik jendela, betapa payahnya Alice dengan bola basket.

Ahㅡ Mark ingat.
Alice bilang dia akan membantunya mencari barang-barang yang hilang.

Entah kenapa perasaan Mark mengatakan Alice begitu yakin bisa menemukan barang-barangnya. Memangnya dia Sherlock Holmes?

Mark mengalihkan pandangannya ke depan kelas ㅡpura-pura memperhatikan. Tapi dia masih berpikir, Alice meminta imbalan.
Kira-kira apa yang akan ia minta?

Entah apaㅡ Mark clueless.
Alice terlalu misterius. Hidupnya tampak terlalu normal sebagai anak baik-baik, dan justru itu yang tidak normal bagi Mark. Masa muda kan harusnya digunakan untuk bersenang-senang, YOLO.

Tiba-tiba Mark terkesiap saat kembali melempar pandang ke luar jendela.

Beberapa kali dia mengerjapkan matanya karena takut berhalusinasi atau salah lihat. Tapi... tidak.
Mark yakin betul apa yang dia lihat.







Alice Kim, berjalan menjauhi lapangan, sendirian.
Tapi bibirnya bergerak-gerak. Seperti sedang berbicara dengan seseorang.







Sesaat Mark mengira mungkin Alice sedang menggerutu atau berbicara pada dirinya sendiri, tapi ini berbeda ㅡdia benar-benar tampak seperti sedang berbicara dengan seseorang.
Atau sesuatu?
Atau... seㅡ sese...hantu?


Alice berjalan semakin dekat dengan sisi luar kelas Mark, masih tampak asyik berbicara dengan sesuatu atau sesehantu ㅡyang jelas bukan seseorang.
Kecuali ada alat komunikasi spy yang terpasang di tubuh Alice untuk berbicara jarak jauh...

Ah, Mark makin melantur.


Ia masih memerhatikan Alice lekat-lekat saat mendadak cewek itu berhenti berjalan, tepat di sisi luar kelas Mark.
Dan Alice menoleh.
Dengan wajah tanpa ekspresi yang membuat Mark merinding.



"Mark?" panggil seseorang. "Mark Lee?!"

"Ehㅡ iyaㅡ saya," Mark tergagap, mengalihkan perhatiannta dari Alice ke depan kelas.

Guru matematikanya berkacak pinggang.
"Pemandangan di luar kelas pasti lebih menarik ya daripada pelajaran saya?"

Walaupun dalam hati Mark mengiyakan, tapi dia memilih tidak cari masalah.
"Maaf," Mark menunduk.

"Choi Esther," ujar sang guru lagi. "Tukar tempat. Mark butuh tempat yang lebih strategis untuk berkonsentrasi."

Esther menghela nafas sambil melempar tatapan kesal pada Mark. Ia mengangguk lalu mengemasi buku-bukunya di bangku paling depan.
Mark melakukan hal yang sama dan meninggalkan zona spionasenya di bangku paling pojok.







"Bodoh," kata Esther pelan pada Mark saat mereka berpapasan untuk bertukar tempat.

Cih, Mark mengulum bibir supaya tidak tersenyum.
Umpatan yang penuh rasa sayang, pikir Mark seenaknya.
.
.
.
.
.
ㅡtbc




Backup ; mark lee ✔ [revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang