21

55K 13K 2.8K
                                    

"Serius, ketemu?!"






Mark mengangguk-angguk sombong dengan cengiran lebar di depan Esther.
"Iya dong, makanya sekarang aku bisa kesini. Mark lain lagi latihan vokal."

Dengan desahan lega Esther menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi. Tadinya padahal dia mau memarahi Mark karena sore-sore begini datang ke kamarnya ㅡuntung saja membawa kabar baik.

"Dimana? Yang nemu cewek yang tadi siang?" tanya Esther.

"Yup. Dia nggak bilang apa-apa, cuma kasih aja," jawab Mark. "Tapi..."

"Tapi...?"

"Ahㅡ nggak. Bukan apa-apa. Eh, ngomong-ngomong dia yang udah bantu kamu waktu dua hari yang lalu pingsan di kelas."

Dari ekspresinya, Esther seperti tidak suka hal itu dibahas lagi.
"Oh ya? Dia kelas akselerasi, kan?"

"He eh."

"Aku pengen akselerasi. Tapi nggak bisa," ujar Esther.

"Hadeh apa enaknya sih? Masa muda kan harusnya dinikmati," timpal Mark. "Apa enaknya sih belajar mati-matian?"

Esther tersenyum sarkastik.
"Kamu nggak ngerti, buat sebagian orang justru belajar mati-matian itu nikmat. Mungkin Alice itu salah satunya."

"Terus kamu salah duanya."

"Sebenernya enggak," Esther menggeleng. "Aku cuma termotivasi eonni-ku. Dia jenius, sekarang ambil double deegre di Seoul University."

"Woah," Mark melongo. "Emang ada ya orang semacam itu di dunia nyata?"

"Ada," Esther menunjuk foto dirinya dan kakaknya di atas meja belajar. "Dari dulu aku selalu dibanding-bandingin sama dia."

"Sama siapa?"

"Semua orang," Esther menghela nafas.

"Eh, tapi ada kok satu kelebihan kamu daripada noona itu."

"Apa?"

"Kamu lebih cantik hehe."

Esther terkekeh sambil rolling eyes.
"Hadeh, mulai lagi."

"Lah, beneran kok. Kalo nggak mau dibilang cantik ya udah ㅡfine."

"Terserah deh, Murgly. Gombalan semacam itu nggak mempan buat aku, fyi," Esther mengibaskan tangannya.

"Terus mempannya yang gimana?" goda Mark.

Sejenak Esther menatap Mark yang sedang menaik turunkan alis seagull-nya.
"Nggakㅡada."

"Dih. Bullshit," Mark tertawa.

"Pulang sana," usir Esther ketus.
Ia serius ㅡberjalan ke pintu keluar lalu membukanya lebar-lebar.

"Ih jahat," seru Mark. "Masa baru sebentar udah diusir?"

Esther menghela nafas.
"Terus maunya berapa lama hah?"

"Nginep."

"Murgly!"

"Hehe enggak lah, bercanda," Mark menghampiri Esther lalu menunjuk ke luar. "Nggak liat ya? Hujan tuh."

Lagi-lagi Esther hanya bisa menghela nafas. Mark benar, di luar gerimis deras dan mereka berdua tidak punya payung.

"Hmm ya udah deh. Tapi nanti kalo hujannya berhentiㅡ"

"Iya, bawel," Mark mencubit pipi Esther lalu masuk lagi ke kamar dan menyalakan tv.
Meninggalkan Esther yang diam-diam cengo memegang bekas cubitan di pipinya alih-alih mengomel seperti biasa.

Backup ; mark lee ✔ [revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang