1; Dijemput

381 38 15
                                    

Lagi-lagi kota Jakarta hujan deras. Mata Rayta melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangan kirinya, sudah pukul 5 sore dan ia sudah menunggu hujan reda sejak dua jam yang lalu. Dan sampai sekarang hujan pun belum juga reda.

Ponsel Rayta lowbatt!

Gadis itu panik setengah mati. Teman-temannya sudah pulang daritadi. Bagaimana cara Rayta pulang? Bahkan payung saja ia nggak punya, lagipula jika ada payung pun ia nggak akan berjalan kaki dari sekolah sampai rumah. Jarak rumahnya dengan sekolah bisa mencapai 15 km.

Selagi menunggu di tempat duduk depan tata usaha, kaki Rayta bergerak dengan mengetuk-ngetukkan sepatunya ke lantai secara bergantian. Ia menunduk seraya memandangi kedua sepatunya, ia berpikir, seharusnya ia nggak usah piket hari ini. Anggota piket yang sama dengan Rayta juga sudah pulang, mereka dijemput. Rayta menyesal.

"Eh...," Suara itu mengejutkan Rayta. Rayta terlonjak, lalu menoleh. Itu Pak Haris, guru Ekonomi yang mengajarnya. Rayta menghela napas lega.

"Eh, ternyata kamu, Rayta." Pak Haris mendapat jawaban sendiri, lalu ia menyengir, "Kamu kenapa belum pulang?"

"H-hujan, Pak. Hape saya juga lowbatt."

"Waduh. Ya udah, kamu tunggu...," ucapan Pak Haris menggantung. Lalu ia merogoh kantong celananya dan mengambil ponsel.

Dilihatnya Pak Haris sedang menekan beberapa digit nomor dan menekan tombol hijau. Beberapa detik kemudian, telepon Pak Haris sudah tersambung dengan orang yang Rayta tidak ketahui. Dan Pak Haris menjauh.

Setelah sambungan telepon terputus, Pak Haris berjalan menghampiri Rayta. "Kebetulan anak saya masih ada di parkiran sekolah. Nak Rayta pulang sama dia aja ya?"

Kedua bola mata Rayta membulat. Setelah diberi cobaan tidak bisa pulang cepat hari ini, sekarang apalagi?

"Tenang, anak Bapak nggak bakal macem-macem." ujar Pak Haris lagi, "Kamu tunggu aja ya, Bapak mau balik lagi ke ruang ujian kelas 12, ada yang mau saya urusi."

Rayta mengangguk kaku. Astaga, bagaimana ini?!

Hujan reda perlahan-lahan. Rintik hujan menari-nari di atas aspal dengan tenang sekarang. Bibir Rayta terangkat, akhirnya hujan reda juga. Tapi ia nggak sebegitu lega, ia masih belum siap bertemu dengan anak Pak Haris—yang katanya—akan menjemputnya.

Beberapa menit kemudian datang motor vespa merah dengan lelaki berhelm bogo krem. Motor vespa itu berhenti tepat di depan tata usaha. Lelaki itu membuka helmnya, Rayta nggak mengenalinya. Mata Rayta terus memandangi gerak-gerik lelaki itu sampai akhirnya lelaki itu berdiri di hadapan Rayta.

"Ayo!" ajak lelaki itu.

Kening Rayta mengerut. Ini cowo siapa anjir, main ngajak pulang aja? Rayta berdiri, "Lo siapa?"

"Lo ga tau gue?"

Rayta mengangguk.

"Gue Gilang, murid sini." jawab Gilang memperkenalkan dirinya.

Bibir Rayta membentuk huruf O, nggak tahu harus menjawab apa, karena memperkenalkan dirinya sendiri pun ia enggan. Nggak mau menunggu lama, Gilang menarik tangan Rayta dan berjalan ke motor vespanya. Lalu, lelaki itu memakaikan Rayta helmnya yang lain—ia memang membawa dua—dan seraya memberikan Rayta jaket biru mudanya, ia berkata, "Asli, lo nyusahin."

Pada detik itu, Rayta yang sebelumnya hanya bisa bengong, langsung berkata, "Terus lo mau ngapain, anjir?!"

"Nganter lo pulang."

"Tapi gue harus pulang sama anaknya guru gue."

"Ck! Buruan!"

"Lo siapa, sih?! Maksa-maksa aja!"

"Gue anaknya guru lo!"

Bibir Rayta tertutup rapat. Jadi ini anaknya Pak Haris? Kelas berapa? Kok Rayta baru lihat?

Tubuh Rayta mundur selangkah, "Gue gak tau asal-usul lo,"

"Emang kalo lo pulang sama abang Grab, lo tau dia keturunan jawa apa bukan?"

"Bukan—"

"Bacot. Naik, lo aman sama gue."

•••
to be continued!

Gimana, nih, chapter pertamanya?

When Gilang Says 'Bacot'Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang