13; Panic

136 25 3
                                    

Bugh! Bugh! Bugh!

Tubuh Gilang tersungkur di atas tanah. Gilang menyeka darah yang mengalir dari sudut bibirnya, ia meringis. Dengan tenaga seadanya, Gilang bangkit dan menatap tajam lelaki yang berada di hadapannya sekarang. Rahangnya mengeras dan kedua telapak tangannya terkepal.

Lelaki itu Hanif. Entah datang darimana, beberapa menit setelah Gilang tiba di parkiran motor, lelaki itu dengan tiba-tiba menyeret Gilang ke tempat jauh dari jangkauan orang-orang dan meninju Gilang begitu saja. Gilang jelas tidak terima.

"Maksud lo apa, anjing?!" gertak Gilang dengan napas menderu.

"Mikir, bangsat!" gertak Hanif balik. Ia menghampiri Gilang lagi dan melayangkan sebuah tinjuan ke dada dan perut Gilang. Setelah itu, ia menendang Gilang sampai tersungkur lagi di atas tanah.

Mata Gilang terpejam dan ia meringis, semua badannya terasa sangat ngilu. Gilang berusaha untuk menggerakkan sebagian badannya, namun nihil, ia sudah tak ada tenaga.

"Sampe lo deketin Rayta dan ikut campur urusan Rayta lagi, jangan harap bokap lo bisa terus ngajar di sekolah!"

"Nyadar, Rayta udah ga mau sama lo," lirih Gilang yang masih bisa didengar oleh Hanif.

Mendengar itu, Hanif menendang Gilang sampai kepala Gilang terbentur tembok dan berkata, "Sinting!"

Kepala Gilang terasa sangat ngilu dan seperti mau pecah. Pandangannya memburam. Setelah itu, Gilang hanya bisa melihat Hanif melangkah pergi sebelum pandangannya benar-benar menggelap.

***

"Lah, motor Gilang kok masih disini dah, Gha?" tanya Irza heran ketika melihat vespa merah Gilang masih terparkir di parkiran motor.

Ragha ikutan bingung, "Lah, iya? Perasaan tadi dia udah pamit. Di sekolah juga udah kaga ada dia,"

Irza memerhatikan sekitar. Ada yang aneh. Hari ini, 'kan, Gilang nggak ada jadwal ekskul. Biasanya juga Gilang kalau sudah pamit, ya pulang.

"Bentar, coba gue telfon," ucap Ragha.

Ragha mengambil ponsel dari saku celananya, membuka kunci, menekan logo telepon, kemudian menekan beberapa digit nomor telepon Gilang.

Menunggu telepon Ragha di angkat Gilang, mata Irza memerhatikan sekitar dari posisi ia berdiri, sampai akhirnya ia menemukan kunci motor Gilang tergeletak di aspal, tidak jauh dari motor Gilang terparkir.

Dengan cepat Irza mengambil kunci tersebut. Ia menepuk pundak Ragha berkali-kali, "Sumpah, ada yang ga beres!"

"Cek zenly! Dia selalu nyalain gps," perintah Irza.

Ragha langsung membuka aplikasi tersebut dan mengecek dimana keberadaan Gilang sekarang. Gilang tidak jauh dari sini.

"Eh, itu yang lapangan deket rumah kosong bukan, Za?"

"Anjrit! Ayo buruan!"

Irza dan Ragha pun langsung berlari menuju tempat tersebut melalui jalan kecil dari parkiran. Mereka sepanik ini, pasalnya, Gilang nggak pernah kesana dan mana mungkin Gilang nggak bawa kunci motor, 'kan?

"Laaaang!" teriak Ragha seraya berjalan, berharap Gilang akan menjawab teriakannya.

Langkah Irza dan Ragha terhenti ketika melihat seseorang yang tidak asing bagi mereka. Mata mereka membulat, mereka berlari menghampiri sahabatnya itu.

"Astaghfirullah!" seru keduanya.

Kondisi Gilang sangat berantakan, seragamnya sobek-sobek. Wajah Gilang lebam dan berdarah. Dan yang lebih membuat Irza dan Ragha panik setengah mati, Gilang tidak sadar.

"Za, panggil bokapnya! Buruan! Gue mau nelfon ambulans!"

°°°
to be continued!

KOK GUA GEDEG YA SM HANIF

When Gilang Says 'Bacot'Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang