Part 9 : Pengungkapan Rasa

932 81 13
                                    

Haekal menatap kursi kosong di sebelahnya, yang tidak lama kemudian diisi oleh pria berkulit putih. Aldo, pria itu menepuk bahu Haekal pelan. "Lo kenapa? Mukanya asem banget? Perasaan pas pertama masuk kesini lu murah senyum deh, kenapa sekarang jadi cuek gini. Gue panggilin dari tadi gak nyahut-nyahut," kata Aldo pada Haekal yang sudah menoleh ke arahnya.

Haekal hanya tersenyum kecil, "Gapapa.." jawabnya seadanya.

"Yaelah.. Udah kayak cewe aja lo! Kalo ditanya 'kenapa' jawabnya 'gapapa'. Jangan so misterius," kata Aldo jujur.

Pria di sampingnya malah terkekeh. Aldo menaikkan sebelah alisnya, "Gue pernah sih jadi kayak lo gitu, dan itu terjadi ketika gue lagi ada masalah. Lo lagi ada masalah?" ujar Aldo bertanya. Haekal terdiam, ia menunduk memperhatikan sepatunya yang masih bersih itu.

"Bilang aja kali, Kal. Gue juga dulu gitu. Gak plong kalo gak di ceritain, coba lo cerita ke gue. Siapa tau aja gue bisa bantu." Aldo tersenyum ke arah Haekal, memberi tanda kebersamaan yang mencoba dibangun.

Haekal menghela nafas pelan, diusapnya wajah itu cukup kasar karena keringat yang yang bercucuran dari keningnya cukup membuatnya gugup. "Gue cuma lagi sedih aja," jawab Haekal jujur, ia mengusap kembali wajahnya.

"Alasan lo sedih itu kenapa?" tanya Aldo lagi. Haekal mengambil nafas pelan lalu membuangnya kasar. Ia kembali mengingat Sherin. Sherin yang kini sedang terbaring lemah di rumah sakit.

"Sherin sakit, lagi dirawat," Aldo terkekeh pelan, ia menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Kenapa lo harus sedih? Sherin sakit apa emang? Tumben tuh bocah sakit, biasanya juga kalo udah pucet dia tidur di sini. Eheh" kekeh Aldo, Haekal menghela nafas berat, nafasnya serasa tercekat seketika ketika mengingat Sherin. Mengingat apa yang terjadi kemarin malam.

"Gue sedih aja, dia bener-bener dalam kondisi memprihatinkan,"  lirih Haekal pelan. Aldo masih bisa mendengar itu, ia sedikit terhenyak mendengar kalimat yang diucapkan Haekal diakhir. Tapi dengan segera ia menepuk-nepuk bahu Haekal pelan tanda memberi semangat.

"Lo gak boleh sedih. Apalagi kalo lo lagi didepan Sherin, gue dari kelas 10 sekelas sama Sherin. Dia itu gamau liat orang yang deket sama dia tuh sedih, gue sebenernya temennya Sherin, cuma gue emang gini, kalo becanda suka kelewatan, Sherin juga pasti udah bisa mewajari itu. Pas gue sedih dulu, orang yang selalu ada di samping gue itu Sherin. Dia rela masuk sekolah buat dengerin lanjutan curhatan gue yang kepotong ulangan Matematika, padahal dia lagi sakit," jelas Aldo. Kini Haekal yang sedikit terhenyak, pria itu melirik Aldo sekilas.

"Emang Sherin sakit apa?" Haekal menoleh, menatap Aldo serius, mata bulat Aldo menyiratkan sebuah kekhawatiran dengan alis yang hampir menyatu.

"Kanker otak,"

***

Haekal menatap teh manis yang baru dibuatkan oleh Ibu nya itu, ditatap lekat-lekat teh yang masih beruap panas dengan serius. "Haekal! Kamu kenapa sih?" Ibunya yang sedari tadi mengajaknya berbicara pun geram karena Haekal tak merespon sedikitpun.

"Gapapa, Bu," jawab Haekal seadanya, ia menyandarkan punggungnya pada sofa lalu menatap ibunya.

"Haekal.. Ibu ini udah hafal kepribadian kamu. Kamu pasti ada masalah, atau ada sesuatu yang gak bisa kamu ungkapin. Coba sekarang kamu luapkan semuanya ke Ibu. In Syaa Allah, Ibu bisa kasih saran ke kamu," Riani mendekat ke arah Haekal dan mengusap-usap bahu anak bungsunya itu.

Dipeluknya anak yang sudah ia rawat selama 17 tahun itu dengan kasih sayang, "Kenapa?" Haekal hanya diam menyembunyikan wajahnya dibahu Ibu Riani. Merasakan kehangatan pelukan dan usapan tangan Ibu yang selalu membuatnya tenang.

GirlXFriend [REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang