05. Question

5.3K 603 75
                                    

Kegelapan mulai merayapi kota Seoul hari itu, menggantikan warna jingga di penghujung langit dengan warna keunguan gelap, lampu-lampu di pinggir jalan mulai menyala terang satu-persatu, alam mulai menidurkan diri, dengan bulan yang juga perlahan muncul di langit kota itu. Menjadi satu-satunya lampu tidur untuk kota yang seakan tidak mengenal kantuk.

Jimin menyeret langkah kakinya yang terasa berat, perutnya keroncongan, serta tulang-tulang yang ada di dalam tubuhnya terasa lepas satu persatu.

Tidak menyangka bahwa hari pertamanya akan sangat begitu melelahkan. Kedua kakinya seperti di siram oleh campuran semen dan timah begitu berat untuk hanya sekedar dipakai untuk berjalan, celakanya, ini merupakan hari paling tersial bagi Jimin, bagaimana tidak? Lift yang berada di gedung apartemennya itu tiba-tiba rusak. Memaksa Jimin untuk melalui satu-satunya akses yang bisa dipakai menuju kamar apartemennya yang berada di lantai tujuh.

Jimin tidak membenci naik tangga, tetapi jika tangga yang harus ia lalui begitu banyak, rasanya ia ingin mengutuk tangga itu, dan jika saja tangga yang sekarang ia lewati merupakan makhluk hidup, mungkin Jimin tidak akan segan-segan untuk membunuhnya.

Mendengus kesal, Jimin segera menaiki tangga itu secara perlahan, mengantisipasi tenaganya yang menipis agar tidak segera habis, hampir lima belas menit berlalu, dan daya tenaganya kian menipis, akhrinya mata sipit itu kemudian berbinar cerah ketika pada akhirnya dapat melihat plang bertuliskan angka tujuh di ujung dinding pintu di depannya.

Jimin menghela nafas yang sedikit terengah, menyeka buliran keringat di wajah, kemudian dengan cepat membuka pintu berplang angka tujuh itu.

Langkah kakinya yang makin terseok Jimin paksakan untuk membawanya ke dalam apartemen bernomor 56. Apartemen yang sudah menjadi rumahnya selama tiga bulan di Seoul.

Setelah berhasil masuk, Jimin langsung merebahkan tubuh letihnya di atas sofa panjang ruang tamu, setiap bagian dari tubuhnya seakan berteriak dan menyerukan protes untuk segera di istirahatkan, tetapi perutnya yang keroncongan tidak membantu sama sekali.

Membuat Jimin kembali memaksakan diri bergerak untuk segera memasak makan malamnya.

Jimin bangkit menuju kamarnya untuk mengganti pakaian kerja dengan kemeja putih tipis kebesaran, sampai-sampai jimin terlihat tenggelam saat memakai kemeja itu. Untuk bawahan ia hanya memakai celana dalam yang menutup bagian privasinya. Setelah selesai mengganti pakaian kerjanya, Jimin langsung melenggang ke arah dapur yang merangkap jadi satu dengan ruang tamu.

Tangannya terulur untuk mengambil nasi hangat dalam penanak nasi, lalu Jimin bergeser untuk membuka pintu kulkas dan kemudian mengambil bahan-bahan seperti daun bawang, sosis, kimchi, bawang bombay, garlic, dan satu butir telur.

Kedua Tangan mungilnya sangat terampil mengolah bahan masak itu, memotongnya menjadi kubus-kubus kecil, kemudian mulai memasukannya ke dalam pan berisi minyak panas, mencampurnya dengan nasi kemudian di aduk menggunakan spatulla.

Setelah dirasa matang, Jimin memindahkan isi pan  itu kedalam piring porselen putih, kembali lagi pan Jimin letakkan di atas kompor yang masih menyala. Dia mulai menggoreng telur di dalam pan, membuatnya menjadi setengah matang dan memindahkannya di atas nasi goreng kimchi yang mengeluarkan asap tipis dengan aroma yang begitu menggugah selera.

Jimin menatap sejenak hasil kerja kerasnya, tangannya terulur sendiri untuk mengelus surai blondenya.

"Kerja bagus Jimin"

Jimin selesai mengisi perutnya, dia menepuk pelan perut yang sedikit mengembung karena kekenyangan, kemudian mulai mencuci piring berserta alat-alat dapur lain yang kotor.

FLOWER (KOOKMIN)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang