1

30.7K 3.3K 412
                                    

Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, ketika Ibu dan Ayah panik menghubungi teman - teman adik perempuanku, Anis.

"Coba cari adiknya, Mas. Masih di kampus atau bagaimana." Wajah panik Ibu menghampiriku.

Kuambil jaket dan helm tanpa banyak bicara, lalu pergi ke tempat yang biasa dikunjungi adikku. Mungkin dia sedang pacaran hingga lupa waktu. Beberapa hari lalu dia bercerita tentang pacarnya yang baik hati dan penyayang.

Kutelusuri jalanan malam yang lengang. Ke kampus, ke kafe - kafe hingga taman kota yang ramai dengan anak muda sebaya adikku. Tapi tidak juga kutemui sosok mungil Anis.

Sehari, dua hari hingga hari ketiga, Ayah menghubungi Polisi untuk mencari keberadaan Anis.

"Ada laporan dari saksi mata, terakhir kali melihat Anis, bahwa Anis sedang bersama pacarnya, Oscar." Aji, kakakku yang nomor dua memberi laporan.

"Minta alamat Oscar, Mas." Kataku.

Aji datang dengan alamat kost - kost-an dimana Oscar tinggal. Kami bertiga dengan beberapa petugas kepolisian menuju kesana.

Kost - kost-an itu mewah, dengan fasilitas lengkap yang memanjakan penghuninya. Tapi sepi dan bebas. Salah seorang penghuni memberi tahu kamar Oscar. Petugas kepolisian menggedor kamar itu, tapi hening. Tidak ada jawaban. Hingga terdengar suara berisik barang - barang jatuh, akhirnya kami semua sepakat membobol pintu kamar kost Oscar.

Begitu dibuka, pemandangan kamar kost yang berantakan menjawab semuanya. Adikku terbaring tak berdaya di atas kasur dengan pakaian yang tak pantas. Aku segera berlari dan menutupi tubuhnya dengan seprai yang sudah kotor dengan bercak darah dan bau busuk.

Saat itulah aku tahu, adikku diperlakukan dengan keji. Anis mendorongku hingga terjungkal, tidak mengenali aku dan kedua kakakku yang lain. Dia menangis dan berteriak, beringsut di sudut kamar. Kedua pergelangan tangannya memar, bekas ikatan kuat tali atau benda apapun yang bisa mengikatnya.

Polisi menggeledah seluruh ruangan kamar kost yang terbilang besar ini dan menemukan si pengecut Oscar bersembunyi di loteng kamar mandi kost-nya.

Anis kehilangan dirinya sendiri.

Pihak kepolisian yang memanggil Oscar dan keluarganya memberi kabar, bahwa keluarga bajingan itu menolak tuduhan pemerkosaan dan penculikan. Mereka meng-klaim bahwa adikku dan anaknya melakukan hubungan itu atas dasar suka sama suka. Semua bukti visum dan kekerasan fisik dari dokter dianggapnya palsu.

Anis tidak bisa ditanya, jiwanya terguncang hebat.

Hukum memutuskan, Oscar tidak bersalah. Kedua belah pihak melakukan hubungan dewasa atas dasar kemauan keduanya. Begitu kata mereka. Ayah marah, namun tidak tahu harus marah pada siapa. Setiap malam, hanya suara tangis Ibu dan teriakan adikku yang kudengar. Membuatku geram dan ingin menarik Oscar ke dalam luka keluarga kami.

Hingga malapetaka itu berbuah pil pahit yang harus ditanggung Anis.

Dia mengandung. Anis hamil anak bajingan pengecut itu. Anis yang sedang kehilangan kendali mencoba menyakiti dirinya sendiri. Kami harus mengikat tangannya agar dia tidak bisa melukai dirinya dengan benda - benda apapun yang dia lihat.

Adikku yang kecil, yang manis. Anis gadis yang penurut dan tidak pernah membantah perkataan orangtua dan kakak - kakaknya. Puteri kecil kami, kehilangan kontrol dirinya. Hanya satu yang kupikirkan, Oscar harus mengakui perbuatannya.

Trinity yang terus menghubungiku, kuabaikan. Dia bahkan mengancam akan menganggu pekerjaanku jika aku masih tidak menanggapi ceritanya. Tapi tidak ada yang bisa menghalangiku untuk menyeret Oscar ke rumah dan meminta ampun di kaki kedua orangtuaku. Tidak ada.

***

Trinity benar - benar gadis keras kepala. Ia datang ke bengkel dan mengganggu pekerjaan kami semua.

"Jangan sekarang, Trinity." Tegurku, ketika dia merajuk karena aku menolak pergi dengannya.

"Aku mau cerita, Giri. Keluargaku sedang ada masalah."

"Begitu juga aku. Biar aku selesaikan dulu urusanku dengan mereka." Aku berusaha mengusirnya pulang.

"Gak mau. Aku ikut! Aku akan bantuin kamu, dan nanti kamu harus dengerin aku. Cuma dengerin aku aja!" Katanya keras kepala.

Dan sudah tiga bulan ini aku mengalah pada gadis keras kepala yang sukses membuat detakan jantungku menggila.

"Jangan menyesal dengan apa yang akan kamu lihat nanti." Kataku memperingatkan sekaligus menakut - nakutinya.

Gadis bodoh itu hanya mengangguk penuh semangat.

Hari sudah larut saat aku membawa Trinity untuk memberi pelajaran pada Oscar. Dia mengenakan helm capung yang kubelikan dua bulan lalu, saat hubungan kami menjadi lebih intens. Trinity mengeratkan pelukannya padaku. Aku menepikan motor dan melepas jaket, memberikannya pada Trinity.

"Besok - besok, jangan pakai baju tipis begitu." Trinity hanya tersenyum bodoh dan mengenakan jaketku dengan riang.

Kami sampai di kost - kost-an Oscar, tempat Anis ditemukan beberapa waktu lalu.

"Abang aku juga ngekost disini. Kita mau ketemu siapa?" Trinity melepaskan helmnya.

"Seorang bajingan. Kamu yakin mau masuk?" Tanyaku, khawatir dia akan benci melihat apa yang akan aku lakukan pada Oscar.

Trinity mengangguk, "biar aku bisa bantuin kamu." Katanya semangat.

Kuacak - acak rambutnya, dia menepis tanganku sambil tertawa.

"Ayo." Trinity menggenggam tanganku dan melangkah di belakangku.

Sampai depan pintu kamar Oscar, aku mengetuknya keras. Wajah Trinity menyiratkan kebingungan yang nyata.

Pintu terbuka, Oscar berdiri disana.

"Kamu, Dek?" Sapanya, pada gadis di sebelahku. Dan matanya membelalak kaget saat melihatku.

Dia terhuyung mundur, tanpa menunggu, kulayangkan pukulan di rahang Oscar. Trinity menjerit. Oscar masuk ke dalam kamar kostnya, tersaruk - saruk. Kukejar dia, tidak memberinya kesempatan untuk memulihkan diri. Tendangan sepatu lars-ku, mampir di wajahnya yang berkeringat. Oscar tersungkur. Sambil merangkak dia mencari sesuatu di laci kecil samping tempat tidurnya.

Aku benci mengingat saat menemukan tubuh adikku disana.

Kucengkram leher Oscar dan membenturkan kepalanya ke meja. Lengan Trinity menarikku dengan kuat.

"BERHENTI, GIRI, STOOPPPP!"

Teriakannya, tidak menghentikkan amarahku pada manusia pengecut ini. Tanganku menjangkau kerah baju Oscar dan menariknya untuk berdiri. Satu pukulan hendak kulayangkan ketika kata - kata Trinity membuatku berhenti, "Oscar abangku, Giri. Berhenti, tolong!"

Sengatan yang asing menghantam dadaku ketika mendengar pernyataan Trinity. Cengkraman tanganku pada kerah baju Oscar terlepas. Aku melihat wajah wanita yang kucintai penuh khawatir dan marah di saat yang bersamaan.

Dia, kakak laki - lakinya?

•••

R E - W R I T ETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang