tiga

283 22 4
                                    

Yoongi lari dari rumah. Dia kabur dan tak tau harus kemana. Dia hanya sempat membawa sepasang baju dan 2 celana dalam di tasnya. Bahkan ponsel juga dompetnya masih tertinggal di dalam kamar.

Lelah berlari, Yoongi memutuskan duduk di sebuah bangku taman tak jauh dari rumah lamanya. Yoongi dan keluarganya memang pindah rumah sejak setahun yang lalu.

Kakinya tiba tiba mengarah ke rumah lamanya yang kini kosong. Seolah ada yang menariknya untuk kembali ke sana.

Yoongi duduk melipat kedua kaki dan meletakkan kepala di atas lutut. Tubuhnya bergetar menahan tangis yang sedari awal mencoba merangsek keluar.

"Hiks"

Tangis Yoongi pecah. Tak peduli bahwa nyatanya ia masih berada di tempat umum. Tak peduli bila ada yang melihatnya menangis sekarang.

Ini terlalu menyakitkan. Yoongi hanya ingin keluarga yang utuh dan hangat. Kenapa terasa sulit dan jauh ia gapai?

Yoongi muak dengan semua drama yang orang tuanya buat. Mereka saling menyakiti tanpa menyadari bahwa ada yang jauh lebih sakit disini.

Dadanya terasa sesak. Jantungnya seolah tengah diambil paksa oleh sebuah tangan tak terlihat.

Yoongi butuh sandaran. Ia butuh seseorang untuk menopang dirinya. Tak mungkin ia berlari pada teman temannya. Tak mungkin juga mengharap sang kakak yang kini berada terlalu jauh darinya.

Hingga sebuah usapan di kepala menghentikan isakan Yoongi. Usapan itu terasa hangat. Seolah semua rasa sakit yang melandanya menguap begitu saja saat tangan itu mulai menyentuhnya.

Perlahan, Yoongi mengangkat wajahnya. Pandangannya masih kabur oleh air mata membuat ia tak bisa melihat sosok di depannya dengan jelas. Namun ia tau, sosok yang masih setia mengusap kepalanya itu adalah seorang pria. Sepertinya seumuran dengan Yoongi. Rambutnya hitam kelam, wajahnya bundar dengan senyum yang terlihat begitu hangat.

"Berapa kali kubilang padamu untuk berhenti menangis?"

Yoongi terdiam. Dia merasa tak mengenal pria itu, tapi pria tu terlihat sangat mengenalnya. Yoongi mengusap wajahnya agar ia bisa melihat pria iu lebih jelas. Sekarang ia bisa melihat mata sipit, hidung kecil serta sepasang pipi gembil yang membuatnya terlihat menggemaskan.

"Anda siapa?" Yoongi bertanya dengan suara seraknya. Tenggorokannya terasa kering akibat menangis.

Pria itu berhenti mengusap kepala Yoongi. Ia beralih duduk di samping Yoongi sembari menatap langit yang sebentar lagi ditinggal matahari di peraduan. Ia menghela nafas sebentar lalu kembali menatap Yoongi yang juga tengah menatapnya.

Kedua pasang mata itu bertemu. Yoongi mendadak merasa ada sesuatu yang bergolak di dalam dirinya. Mendadak ia begitu ingin memeluk pria di hadapannya. Meletakkan kepala pada bahu yang terlihat kokoh itu. Mencari perlindungan di belakang punggung yang terlihat begitu tegap itu.

"Sepertinya kamu melupakanku." Pria itu tersenyum membuat sepasang mata sipit itu membentuk sepasang eye smile yang begitu cantik. Seperti bulan sabit. Belum lagi pipi gembilnya ikut terangkat. Membuat yoongi merasa begitu tenang hanya dengan menatap wajah yang tengah tersenyum di depannya.

"Jimin" bisik Yoongi. Namun masih bisa ditangkap oleh telinga pria di hadapannya. Senyumnya semakin lebar. Ia mengangguk membuat Yoongi spontan menerjang tubuhnya. Memeluknya erat sembari menangis sesenggukan di bahunya. Sesekali ia mendengar Yoongi mengucap maaf di sela isakan. Pria yang dipanggil Jimin iu membiarkan Yoongi memeluknya. Tangannya mengusap punggung Yoongi perlahan. Terkadang usapannya berpindah ke kepala turun ke bahu lalu kembali ke punggung.

Yoongi melepas pelukannya saat ia merasa bisa mengendalikan diri. Tangisnya berhenti meski isakannya masih sesekali terdengar. Ia menatap pria itu. Pria yang selama ini selalu dicari carinya. Pria yang membuatnya merasa kehilangan di tiap malamnya. Pria yang entah bagaimana caranya menghilang begitu saja dari ingatannya.

Di usapnya wajah yang pernah menemaninya di masa lalu itu perlahan. Yoongi tersenyum lembut. Tak menyangka ingatannya bisa kembali secepat ini hanya dengan melihat senyum Jimin.

Jimin meraih tangan yang mengusap pipinya itu. Mengenggamnya lembut namun kuat seolah takut sewaktu-waktu tangan itu akan terlepas dan menghilang bersama sosok di depannya.

"Tanganmu kenapa terasa begitu dingin?" Yoongi mengusap tangan Jimin yang tengah menggengam tangan kanannya. Mencoba mengalirkan kehangatan disana.

"Udara sore ini memang lebih dingin dari biasanya. Kenapa kamu menangis sendirian di sini, hem? Apa yang membuatmu terluka lagi?" Yoongi seketika teringat alasannya kabur dari rumah. Wajahnya menunduk. Hatinya mendadak terasa sakit kembali. Tangisnya kembali tanpa mampu dicegah.

Dengan wajah merah serta suara bergetar Yoongi mulai bercerita. Tentang pertengkaran kedua orangtuanya. Tentang kakaknya yang memilih pergi dari rumah karena tak tahan dengan pertengkaran orangtua mereka. Dan tentang ia yang bisa sampai ke sini.

Jimin mendengar dengan seksama. Sesekali tangannya mengusap pipi Yoongi. Menghapus airmata yang terus mengalir di sana. Tangan kirinya tak sekalipun melepas tangan kanan Yoongi. Menggenggamnya erat. Memberi kekuatan tak kasat mata pada Yoongi. Yang nyatanya mampu membuat Yoongi menjadi lebih tenang.

Selesai Yoongi bercerita, mereka hening. Yoongi tak tau lagi harus bicara apa. Sedangkan Jimin masih sibuk menatap wajah Yoongi. Tangisnya memang sudah benar benar berhenti. Menyisakan hidung, pipi serta telinga merah. Juga mata sembab yang juga terlihat memerah.

"Sudah lebih baik?" Yoongi mengangguk. Ia merindukan perasaan ini. Saat ia kecil dulu, Jimin selalu ada disisinya saat ia merasa sedih. Memberinya kekuatan hanya dengan menggenggam tangannya. Ia tak butuh kalimat penenang atau kalimat penyemangat seperti yang teman temannya lakukan. Ia hanya butuh senyum Jimin. Dan semua akan terasa baik baik saja.

"Sekarang pulang ya. Sebentar lagi gelap. Hari juga semakin dingin. Aku tak mau kamu sakit seperti dulu. Yoongi yang sakit itu merepotkan." Jimin tertawa pelan melihat Yoongi yang merengut akan candaannya. Yoongi yang seperti ini jauh lebih baik ketimbang Yoongi yang berlinang airmata.

"Tapi aku masih rindu." Jimin tersenyum lembut. Menarik Yoongi kembali dalam pelukannya sebentar. Melepasnya lalu menangkup wajah Yoongi agar melihat langsung ke matanya.

"Sekarang masih rindu?" Yoongi menjawab masih. Rindunya tak akan hilang hanya dengan pelukan. Ia butuh Jimin terus di sisinya. Menggenggam tangannya serta mengusap kepalanya lembut seperti di masa lalu.

Jimin beranjak dari duduknya. Manarik Yoongi agar ikut berdiri bersamanya.

"Aku akan mengantarmu pulang. Kita masih bisa berpegangan tangan sepanjang jalan pulang." Yoongi memilih menuruti perkataan Jimin. Mereka berjalan perlahan seolah tak ingin segera berpisah. Keduanya hening. Menikmati suasana yang tercipta diantara keduanya. Menikmati detik demi detik yang diharapkan membeku saat ini juga. Yoongi masih sangat merindukan Jimin. Tapi ia yakin, Jimin tak akan lagi meninggalkannya. Karna nyatanya ia yang dahulu meninggalkan Jimin.

Mereka berjalan kaki cukup jauh. 30 menit dan mereka baru sampai di depan rumah Yoongi. Jimin berhenti. Memutar tubuhnya berhadapan dengan Yoongi. Mengusap kepalanya pelan lalu menggenggam kedua tangan pucat itu.

"Berjanjilah untuk tidak sakit seorang diri. Aku akan selalu di sini kapanpun kamu butuh. Jangan lari lagi. Karena jika kamu lari, aku tak tau harus mencarimu kemana lagi." Yoongi mengangguk. Melepas tangannya perlahan lalu mulai berbalik memasuki rumah. Di depan pintu, ia kembali menoleh. Jimin masih disana. Menunggunya masuk ke rumah.

Ia segera berlari ke kamarnya di lantai dua begitu pintu depan tertutup. Membuka tirai jendela sembari menatap ke bawah. Tempat Jimin berdiri beberapa saat yang lalu. Namun Jimin tak lagi disana. Ia telah pergi dan sosoknya tak terlihat dimana pun. Tapi Yoongi tau. Jimin tak akan pergi jauh. Ia akan kembali untuk Yoongi karena Yoongi telah mengingatnya kembali.

Yoongi memutuskan untuk langsung tidur. Dan untuk pertama kalinya dalam beberapa minggu terakhir, Yoongi bisa tidur dengan lelap.

tbc

Who Are You?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang