1 - [Aconite : Kebencian]

52 13 25
                                    

"Selamat siang semuanya. Hari ini, kita kedatangan murid baru."

Kalimat singkat nan mencengangkan yang terlontar itu membuat seisi kelas menjadi ribut. Mereka mulai menebak-nebak, apakah murid pindahan tersebut lelaki atau perempuan.

"Ayo nak, silahkan masuk." Tepat setelah ucapan sang guru terhenti, suara pintu kelas yang terbuka pun terdengar. Hal itu membuat seisi kelas yang bak kapal pecah menjadi sunyi layaknya kuburan. Setelah murid tersebut berdiri tepat disamping guru itu, "Ayo perkenalkan dirimu." Sang guru menyuruhnya untuk memperkenalkan diri.

Tubuh tinggi, berkulit putih, mengenakan kacamata, hidung yang mancung serta rambut berantakan menjadi ciri pertama lelaki ini. Seragam SMA yang rapih terlihat begitu cocok ia kenakan.

"Salam kenal semuanya. Perkenalkan, nama saya Ferrum Triansyah." Perkenalan singkat darinya membuat siswi-siswi kelas ini berbisik satu sama lain. Para siswa juga tak kalah terdengar bisikannya. Kecuali..

Satu orang disini, yang terlihat begitu acuh. Gadis itu, lebih memilih untuk memalingkan wajahnya dan menatap keluar jendela. Terlihat sedang asyik dengan pikirannya sendiri.

"Baik Ferrum, silahkan duduk di bangku kosong itu." Sang guru menunjuk kearah barisan kedua dari jendela, dan tepatnya bangku ketiga dari barisan tersebut.

Ia berjalan kearah bangku kosong itu. Bangku tersebut sudah disusun sesuai dengan abjad, karena adanya murid baru, tempat duduk pun di rubah kembali.

Ketika ia duduk, seisi kelas menjadi ribut kembali. Tak aneh, kejadaian mainstream seperti ini memang sering terjadi, khususnya di komik, drama maupun novel-novel romantis.

'Kring.. Kring..'

Bel tanda istirahat berbunyi dengan nyaringnya, semua siswi-siswi berhamburan menuju bangku Ferrum, alias lelaki yang baru saja singgah di kelas ini.

"Eh Fer, kamu dari sekolah mana?" Celetuk seorang gadis.

"Fer, ke kantin bareng aku yuk." Gadis lain tak mau kalah menggodanya.

"Eh iya, kan kamu belum tau sekolah ini gimana. Mending aku bantu kamu keliling sekolah deh." Ucap gadis lainnya.

Ferrum terlihat kebingungan akan kejadian ini. Ia hanya bisa tersenyum seraya mengangguk-anggukan kepalanya. Hingga tiba seorang siswa yang mendatanginya.

"Kalian suka modus emang." Perkatannya mengundang cekikikan dari gadis-gadis tersebut. "Kamu pasti pusing 'kan di riungin cewek kayak gitu. Ayo, sama kita aja." Ajak lelaki dengan rambut yang sedikit ikal ditemani dengan lelaki lainnya yang bertubuh mungil.

Salah satu gadis terlihat ingin membela diri, "Ya gapapa lah sedikit sksd. Kan biar dia akrab sama anak kelas, yekan temen-temen?" Katanya.

Gadis disekitarannya hanya mengangguk.

Ferrum berdiri dari bangkunya. "Nah akhirnya.. Yaudah ayok." Ia menerima ajakan lelaki itu.

Ketika yang lain sedang heboh dengan kedatangan siswa baru, gadis yang sedari tadi acuh kini beranjak. Tetapi bukan untuk meminta perkenalan Ferrum, melainkan pergi keluar kelas. Gadis itu memang terlihat penyendiri, dengan jaket hitam yang ia kenakan, rambut digerai panjang, dan wajah yang putih pucat. Ia masih dapat dikategorikan kedalam standar 'cantik' meski tidak sebening ataupun semulus artis Korea.

Meskipun bukan hanya dirinya seorang yang pergi keluar kelas dan mengabaikan Ferrum, tapi ntah mengapa auranya sedikit berbeda. Gadis itu terlihat begitu murung.

««●»»

"Dar!" Seorang siswi berteriak tepat di telinga gadis tadi. Sang gadis tersentak akan teriakannya. "Eh Amy, mau kemana?" Ucap siswi ini dengan nada kencang.

"Bukan urusan kamu." Balas gadis yang disapa Amy ini singkat lantas pergi.

Gadis yang berteriak tadi tersenyum sinis, "Syukur ada yang nyapa, bukannya bales malah pergi." Gadis tersebut memutar bola matanya pelan, lantas tertawa. "Oh iya dari jarak segini meski aku teriak teriak juga kamu mana denger! Kan kamu budek!" Gadis ini berteriak dan tertawa keras, kemudian pergi.

Amy, ya begitulah orang-orang memanggilnya. Gadis dengan nama lengkap Amilllum Agatha Kartajaya ini memang sudah terbiasa seperti itu. Hampir setiap hari pasti ada seseorang yang mengusiknya.

Ia berjalan menuju kantin dengan dingin dan jalan yang cepat. Ia berpapasan dengan murid baru tadi, Ferrum. Tanpa memperdulikan seseorang di hadapannya, ia tetap fokus terhadap tujuan meski hampir saja menubruk lelaki itu.

"Weh.. Weh.. Hati hati dong, kalau nubruk gimana ntar." Ucap lelaki yang bersama Ferrum.

"Eh Ud, gaboleh gitu." Balas lelaki yang bertubuh mungil.

"Dia jalan gapake mata kayaknya. Selain tuli kayaknya dia juga buta, No." Sebuah tawa keluar dari mulut lelaki yang di panggil Ud, sebenarnya nama aslinya adalah Budi.

"Astatin! Itu mulut udah kayak cewek aja! Udah-udah... Kita mending ke kelas aja makan ini jajanan." Balas lelaki yang sebenarnya bernama Reno.

Ferrum penasaran terhadap siswi itu, siswi lain ketika berpapasan dengannya langsung menatap wajahnya dan berhenti berlajan. Sedangkan Amy, dengan dingin tetap berjalan cepat. "Siapa dia?" Tanya Ferrum.

"Nama dia Amillum, namanya kayak indikator kimia ya." Kata Budi. "Dia memang sedikit dingin anaknya." Lanjut Budi.

"Oh." Balas Ferrum singkat.

Setelah itu, mereka segera pergi menuju kelas. Sedangkan disisi lain, Amillum sudah tiba di taman sekolah. Untuk keluar dari koridor sekolah memanglah harus melewati kantin terlebih dahulu. Ia jarang sekali bersosialisasi, bahkan untuk berbicara dengan ibu kantin sekalipun tidak.

Amy terduduk dibawah pohon rimbun sekolah itu, dengan santai ia meraih sesuatu dari dalam saku jaketnya. Yup, disana ada sebuah teh yang dikemas dengan bungkusan dus kotak. Selain itu, ada pula roti keju yang terlihat nikmat. Ia membuka bungkus rotinya perlahan, hampir saja satu gigitan ia berikan kepada roti itu..

"Hup! Dapet." Seorang gadis tiba-tiba merebutnya.

Amy hanya terdiam dan menunduk.

Gadis itu memberikan roti tersebut kepada gadis lain di belakangnya. "Nih ambil." Ucapnya.

"Ewh,, sini-sini." Gadis dengan kucir samping itu mengambil rotinya. "Mending aku injek." Ia lalu membuang rotinya ke lantai, lalu menginjaknya.

Amy yang menyaksikan hal itu langsung melihat kearah wajah gadis yang menginjak roti tadi, ia pun berdiri dan lantas menghakimi gadis itu. "Kalian, bisa gak sih sehari aja..." Ucapan Amy terpotong karena gadis yang barusan mengambil rotinya membungkam mulut Amy.

"Sut.. Diem." Ucapannya nyaris berbisik. Gadis bernama Frana tersebut tetap membungkam mulut Amy.

"Eh, Fran. Gimana dia bisa denger, kamu bisik bisik gitu." Gadis yang bernama Mena ini cekikikan pelan.

"Sut Men, tadi dia aku sapa tapi malah cuekin aku masa?!" Frana menghempaskan tangan yang sedari tadi melekat tepat di bibir Amy dengan sangat kencang sehingga Amy terhempas dan jatuh karenanya.

"Apa Fran? Yaiyalah, kamu sapa dia mana bisa dia denger." Mena tertawa.

Amy yang tersungkur langsung bediri, lalu pergi. Namun, tangannya diraih oleh Mena sehingga ia tak sempat untuk beranjak. "Mau kemana?" Ujar Mena. Amy berbalik, lalu memandang gadis-gadis laknat itu dengan tatapan penuh kebencian.

Mena melepaskan cengkramannya, lalu berpindah menuju telinga Amy. "Ini telinga, dipake buat denger. Tau?" Telinga Amy ditariknya dengan keras. Amy sedikit merintih, batinnya memanggil air matanya untuk segera keluar dan jatuh melewati pipi-pipi gadis itu. Tetapi, Amy dengan sekuat tenaga menahannya.

Mena melepas jari-jarinya dari telinga Amy, ia tertawa lantas pergi. Amy menyentuh perlahan telinganya, tak tahan lagi. Ia menangis, bulir kristal bening yang sedari tadi dipanggil pun kini keluar dan benar-benar terjatuh. Matanya terasa panas, ia sungguh merasakan rasa sakit yang begitu dalam.

Mengapa semua orang sangat suka memanggilnya tuli? Jika memang begitu adanya, mengapa mereka menjadikan hal itu untuk menyiksa gadis yang bahkan ingin menemui kebebasan. Ia sudah lelah, ingin rasanya Amy mengakhiri hidupnya saat itu juga. Namun gadis ini tidak mau mengulang lagi kesalahan atas masa lalu terburuk sepanjang hidupnya.

--- Bersambung

"Jonquil Cause Eglantine"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang