"Tadaima ..." Ucap Ferrum sambil membuka pintu rumahnya.
Sejurus kemudian terdengar langkah kaki yang berjalan menuruni tangga kayu yang sudah usang termakan usia. Ferrum melirik ke arah tangga itu sejenak, 'kalau tangga itu runtuh sekarang, pasti aku akan menjadi daging penyet' gumamnya. Tak berapa lama kemudian, seorang lelaki yang kelihatannya lebih tua dua atau tiga tahun darinya datang menghampirinya.
"Eh, adiku tercinta sudah datang." Ujar lelaki itu. Ferrum refleks meludah ke arah tempat sampah yang kebetulan berada tak jauh di sampingnya.
"Jijik." Jawab Ferrum, singkat, padat, namun sedikit tidak jelas. "Sekolah itu, kau benar, menjijikan." Ucapnya kembali. Ia lalu berdiri dan mulai melangkahkan kaki ke kamarnya.
"Sudah ku bilang. Sekolah itu menyesakkan. Apalagi bagi orang sepertimu. Orang yang peduli terhadap lingkungan sekitarmu. Tentu, sekolah itu tidak cocok bagimu. Hahaha, kurasa aku menang, nih!" Ucap lelaki itu. Dia adalah Ferro, kakak kandung Ferrum.
"Tidak juga sih. Taruhan kita kan tentang seberapa lama aku akan tahan disana. Lihat saja, jangankan sampai akhir semester, sampai lulus pun aku mampu. Sifat orang bisa diubah, bukan?" Jawab Ferrum penuh keyakinan. Ia kembali melangkah, sementara Ferro juga mulai mengikuti adiknya.
"Kau masih naif, adiku."
««●»»
Masih di dalam kamar mandi, Cassyta kini tengah memegangi juga memandangi tubuh Amy lekat-lekat. 'Betapa mengkhawatirkannya keadaan kakak kelas ini' ujarnya dalam hati.
Ingin rasanya Cassyta memukuli kakak kelas lain yang barusan memperlakukan Amy seperti ini. Bagaimanapun juga, gadis dihadapannya ini adalah seorang manusia. Sama seperti mereka, Amy bukan boneka yang tak memiliki hati dan perasaan.
"Sampai kapan kaka bakalan diam?" Ujar cassyta. Amy terkejut melihat adik kelasnya ini seperti sangat peduli padanya.
"Aku pantas diginiin, kok. Kamu ga usah lebay, ga usah sok sokan peduli." Jawab Amy. Bukannya ia tidak mau berteman dengan Cassyta, tapi cukup sekali kejadian waktu itu terjadi. Jangan sampai terulang. Apalagi pada gadis baik seperti Cassyta ini.
"Kenapa sih kak Amy jadi gini. Aku sedih, kak. Aku ingat dulu Kak Yola sering cerita tentang kakak." Jawab Cassyta yang tentu membuat Amy terkejut.
"Gimana kam--" Amy memotong ucapannya, ia terheran-heran dengan apa yang baru saja ia dengar.
Sebenarnya, Cassyta mengetahui masa lalu kelam yang dimiliki Amy. Ia tau bagaimana wajah riang yang sempat dimiliki Amy.
"Ah sudalah.. udah kubilang jangan sok-sokan peduli." Sambung Amy, ketus. Ia lalu berdiri, membuka jaket yang tadi dipakaikan Cassyta padanya, lalu melemparnya pada adik kelasnya itu. Sedetik kemudian ia lalu berlari.
"Aku tau kamu orang baik kak!" Teriak Cassyta. Sayangnya dengan jarak mereka yang sudah lumayan jauh, mustahil teriakannya itu akan terdengar oleh Amy.
Amy berlari, bukan menuju rumah tentunya. Datang dengan kondisi badan masih basah kuyup seperti ini hanya akan membuat ibunya khawatir. Amy memilih untuk pergi ke bukit. Baginya, tempat sepi selalu bisa membuat hatinya tenang. Walau datang ke tempat itu juga membuat hatinya sedikit terasa sakit.
"Aku benci dunia ini!" Teriaknya setelah sampai disana. Salah satu kebiasaannya adalah ini. Berteriak dengan keluhan-keluhan kehidupan yang selalu dirasakannya.
"Aduh!" Ucap Amy saat tiba-tiba sebuah kerikil mengenai kepalanya. Ia lalu menoleh ke kanan dan kiri hingga menemukan sesosok lelaki tinggi berdiri di belakang salah satu pohon disini. Itu Ferrum.
KAMU SEDANG MEMBACA
"Jonquil Cause Eglantine"
Dla nastolatkówKematian merupakan hal yang begitu didambakan olehnya. Perasaan bersalah, kekosongan, penyiksaan juga keputusasaan selalu menggerogoti setiap langkah akan bayang-bayang dari gadis itu. Namun, semua hal yang ada dalam kehidupan sang gadis berubah ket...