Ch. 2, pjm

3.5K 691 166
                                    

Namanya adalah Kang Seulgi. Gadis bermata bulat seperti kucing dengan senyum yang sangat manis. Manik matanya hitam kecoklatan, tak segelap warna rambutnya yang panjang lurus. Dia memandangku dengan tatapan antusias ketika aku bicara padanya. Bukan, dia bukan tipekal perempuan yang akan bersikap sok manis di hadapan seorang pria untuk mencari perhatian. Kita sendiri pasti tahu bagaimana menilai ketulusan seseorang, bukan? Dan dia memilikinya.

Setelah menyirami sebagian perutku dengan ramyun instan yang baru saja diseduh air panas, aku pun mengganti kemejaku yang bernoda merah akibat bumbu kuah dari ramyun tersebut dengan kaos polos murah, dan berakhir duduk di kursi depan mini market dua puluh empat jam bersamanya.

"Pertama kalinya di sepanjang hidupku tersiram kuah ramyun panas seperti ini," kataku.

Dia menunduk malu dan tertawa canggung. "Ini juga pertama kalinya aku menyiram seseorang dengan kuah ramyun yang sedari tadi membuatku tergiur. Aku jadi membuang-buang makanan."

"Benar, sepertinya pemilik minimarket itu harus memasang rambu lalu lintas agar para pengunjungnya tidak saling bertabrakan," timpalku, membuatnya tertawa lebih keras.

Kang Seulgi menutupi sebagian wajahnya dengan tangan. Matanya menyipit dan berubah menjadi garis menggemaskan saat tersenyum dan tertawa. Tidak jauh berbeda denganku. Mata kami sama-sama berjenis monolid dan bulat.

"Dan juga alarm peringatan yang dapat mendeteksi dan memberitahukan ke semua pengunjung bahwa ada ramyun panas akan melewati jalan itu. Ide yang sangat brilian!" tambahnya, membuatku tertawa semakin keras.

"Kalau ada yang seperti itu, pasti sekarang tubuhku akan tetap wangi. Tidak akan berbau ramyun instan." Aku mengendus-endus tubuhku sendiri. "Apakah baunya tercium sampai ke tempatmu?" tanyaku dengan bodohnya.

Ya, bodoh. Dan yang lebih ajaibnya lagi, Kang Seulgi justru bangun dari duduk, ikut mencondongkan tubuhnya dan menghirup udara dari arahku. Ujung hidung mungil Kang Seulgi mengerut beberapa kali. Wajahnya berubah serius, mencari-cari aroma sedap yang ku maksudkan.

"Tidak ada, Jimin-ssi. Yang tercium oleh hidungku justru ramyun instan yang ada di meja. Hehehe."

Sial, aku hampir mengira kalau tubuhku benar-benar bau.

"Kau hampir membuatku berlari ke mobil untuk mengambil parfum dan menyiramkannya ke kepalaku, Seulgi-ssi," ujarku.

"Mobil?" Kepalanya menoleh ke segala arah. "Itu mobilmu?" tanyanya seraya menunjuk BMW hitamku yang terparkir di seberang jalan.

Aku mengangguk dan dia melengos. "Kau memarkir sembarang, Park Jimin-ssi." Kang Seulgi menopang dagu dengan tangannya. Tubuhnya bersandar ke meja. "Kau lihat bagian belakang mobilmu menutupi sebagian pagar rumah itu. Kalau penghuni rumah tidak bisa keluar, bagaimana?"

Park Jimin, semua kaum hawa sama saja. Kata cerewet memang tercipta untuk mereka. Jadi, maklumi saja. Ibumu pun juga begitu.

"Ya, aku akan memindahkan mobilku setelah menyelesaikan ini." Aku menunjuk ramyun instan yang tersaji di meja. Sepertinya sudah masak. Dan benar saja, ramyunku hampir mengembang. "Ah, sudah saatnya dilenyapkan,"ujarku seraya mematah sumpit kayu menjadi dua bagian.

Kening gadis itu mengerut sesaat. Bingung mendengar istilah 'dilenyapkan' yang ku katakan tadi. Kemudian matanya membulat kala menyadari apa yang ku maksud. "Ah, majayo! Ramyunku hampir saja kegemukan!" (Ah, benar sekali!)

Kegemukan?

Kini giliranku yang menatapnya. Bingung sesaat dengan istilah yang dia sebutkan. Gadis ini mempunyai gaya bicara yang unik. Hampir sama sepertiku.

FLIRTATIBOYSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang