Ch. 2, myg

3.3K 634 177
                                    

Sebelas panggilan tak terjawab, empat voice mail, dan enam pesan. Semuanya dari Ibu. Dan hingga detik ini, aku belum ada niat untuk membuka salah satu dari pemberitahuan tersebut. Biarlah. Anaknya adalah seorang dokter bedah di sebuah rumah sakit ternama di ibukota, tentu saja Ibu harus memakluminya. Aku selalu berharap seperti itu. Namun, sepertinya harapanku tak terwujud karena Ibu adalah seorang wanita yang sangat keras kepala. Tak peduli bagaimana sibuknya aku di rumah sakit, beliau akan terus menghubungiku walau aku sedang berada dalam ruang operasi sekali pun.

Lima belas menit yang lalu aku baru saja selesai melakukan bedah transplantasi ginjal dengan bantuan Kim Jisoo. Lagi? Ya, belakangan ini aku sering satu tim dengan dokter anestesi yang katanya paling cantik di SMC itu.

"Sugohaesseoyo," ucapku saat aku bertemu dengannya di depan ruang semisteril. Dia membalasku dengan sebuah anggukan, lalu kemudian berlalu. (Terima kasih atas kerja kerasnya.)

Tumben sekali. Biasanya Kim Jisoo selalu mengajakku untuk berbasa-basi dengan berbagai topik pembicaran yang tak tentu arah. Namun kali ini perempuan itu seperti enggan berinteraksi denganku. Sikapnya berubah semenjak aku menolak ajakan makan malam bersama Dokter Han beserta pengikutnya. Kemungkinan besar dia telah kecewa, tetapi aku tak terlalu mengambil pusing.

Sejak dulu aku memang malas bersosialisasi. Bukannya introvert, hanya saja sejak lulus dari berbagai macam pelatihan hingga aku menjadi dokter bedah seperti ini waktuku sudah banyak tersita. Sedangkan teman-teman terdekatku kebanyakan bukan dari kalangan medis. Ada satu-dua teman satu profesi, namun mereka bertugas di daerah bahkan luar negeri.

Berbelok dari koridor IGD, aku berjalan lurus hingga memasuki ruang rehat khusus untuk dokter jaga. Aku membuka semua pesan yang dikirimkan Ibu. Dan coba tebak apa isinya... Ya, dia sudah membuatkan janji pada perempuan yang katanya akan bertunangan denganku itu di sebuah restoran pukul delapan malam nanti. Yang artinya, aku harus segera meluncur dari rumah sakit karena sepuluh menit lagi jarum jam menunjukkan pukul delapan.

Tiba-tiba ponselku berdering lagi. Dari Ibu. Tanpa ragu, aku pun mengangkatnya.

"Yeoboseyo?" sapaku. (Halo.)

Dan terdengar suara Ibu yang mengatakan hal sama dengan pesan yang dikirimnya. Aku tidak dapat protes, bahkan untuk menyela saja tak sempat. Ibu berbicara dengan singkat sekali. Beliau tahu kalau aku pasti akan keberatan dengan semua ini. Maka dari itu, beliau mengakhiri percakapan lebih dulu.

Tidak jauh dari tempatku bertugas, ada sebuah restoran yang menyuguhkan hidangan ala Spanyol dan Mediterania. Tepatnya di Seocho-gu. Aku sering bertemu dan makan malam dengan orang tuaku di sana beberapa kali, saat mereka berkunjung ke Seoul untuk pekerjaan. Restoran itu adalah tempat favorit keluargaku untuk makan malam. Dan beliau sudah memesankan sebuah meja untukku di sana.

Setibanya, aku segera disambut oleh pramusaji. Ku sebutkan namaku untuk menunjukkan meja yang telah direservasi sejak tadi siang. Aku di antarkan ke sebuah meja di lantai dua paling pojok sebelah kanan dekat jendela kaca. Meja itu masih kosong dan aku bernapas lega. Setidaknya aku tidak membuat seorang perempuan menungguku berjam-jam. Walau pun aku tidak menyukai perjodohan konyol seperti ini, setidaknya kita semua tahu kalau menunggu itu sangat menyebalkan.

Aku duduk di sana dan memesan segelas English Tea. Sembari santai, aku pun memberi tahu Ibu kalau aku sudah tiba di tempat. Ini untuk mencegah tuduhan kalau aku tidak mematuhi keinginan Kakek. Bisa-bisa aku diberi label sebagai cucu durhaka dan ditendang dari klan Min. Mengisi waktu luang, aku pun memasang membenarkan letak kacamata dan membaca jurnal-jurnal medis yang sengaja ku salin ke ponsel. Namun rupanya kesempatanku untuk mempelajari kembali beberapa kasus pada jurnal penelitian tersebut tidak terlalu banyak. Aku mendengar suara perempuan menyapaku.

FLIRTATIBOYSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang