07. Choice

6.8K 964 29
                                    

Raja siang di atas sana sudah siap meluncur sehabis bersusah payah memanjat. Sinarnya yang tidak terlalu menyengat itu menembus tiap celah-celah bangunan menjulang di sekitar. Tiap tapakanku di trotoar yang untung saja tidak sesak, awan berbaris indah mengikuti.

Tepat sepuluh menit lepas, dengan kaus setengah siku bergaris horizontal biru-putih, celana dan juga sepatu yang sepadan. Tas minimalis yang terselampir di bahu kanan. Tidak ketinggalan kepangan menyamping dibiarkan kendur sehingga anak-anak rambut terbebas lepas terjuntai. Sangat berharap, bahwa penampilanku kali ini sedikit enak dipandang ketimbang hari-hari lalu.

Kupangkukan pandangan tepat di mana jam pemberian mendiang ayah terlingkar. Aku sedikit meringis. Agaknya aku pergi terlalu cepat dari jadwal bertemuku dengan dia.

Semalam, tatkala aku tengah memilah pesan mana yang mesti dihapus guna meringankan kinerja ponsel, aku mendapati sebuah percakapanku dengannya. Dengan Park Jimin. Sahabat lama semasa menengah atas yang eksistensinya sedikit berkabut beberapa bulan ini di benakku. Tidak sepenuhnya salahku, sebenarnya. Hanya dia saja yang terlalu sibuk akan segala tetek bengek dari sematan di samping namanya sebagai pewaris dari Park's Group. Sehingga dia tidak punya banyak waktu, bahkan untuk menginjak negara kelahirannya sendiri.

Aku tidak ingat juga tidak mengerti bagaimana Jimin bisa menjadi sahabatku, karena semua terjadi seperti arus di sebuah sungai, mengalir begitu saja. Namun, satu yang kukenang, Jimin-lah yang memulai. Bahkan awalnya aku heran, mengapa si konglomerat Jimin terdampar di sekolah yang stratanya bukanlah sekolah beken seperti yang sering dielu-elukan oleh masyarakat, tempat di mana makhluk sejenis dia berada.

Akhirnya, kafe yang menjadi tempat bersua telah tertangkap di penglihatan. Selepas mengirim pesan singkat, alih-alih lakukan panggilan telepon antar negara yang memakan banyak biaya, hari ini aku bertekad memberitahu Jimin pasal pernikahanku. Sepenuhnya aku yakin, usai mendengar berita itu, Jimin pasti membaui kedok di baliknya. Hal yang membuatku khawatir sekaligus ingin mengutuk kepintaran milik Jimin. Bisa saja aku bungkam, tetapi lawanku ini bukan sembarangan. Mungkin bosan mengatakan, tapi ayolah, dia seorang Jung. Tiap sudut negara ini pun tahu siapa itu Jung.

Jadi, kupikir lebih baik mengatakan sebelum pelaksanaan dilakukan ketimbang dia mengamuk, meminta penjelasan dariku usainya. Sebab aku dapat meyakinkan serta berharap akan dukungan, meski agaknya sukar.

Tubuhku sudah melalui pintu kaca kafe bergaya modern itu. Mengambil beberapa langkah guna menebar pandang, mencari tepatnya posisi Jimin. Barangkali lantaran terlalu bersinar, makanya tak sulit menemukan Jimin dan rambut yang dipolesnya menjadi pirang. Gerakan melambai saja membuat cicitan pengunjung gadis makin memberat. Aku menghela sebelum mendekati mejanya.

Wah, bolehkah aku memperingatkan Jimin agar tidak tebar pesona senyumnya saat bersamaku? Bukan tidak berhati, hanya saja, telingaku rasanya makin berdenging.

"Yumi!" seruan tidak santai itu makin membarakan niatku. Lihat mata-mata kembar di sini, liar.

"Hai, Jim!" sapaku. Aku menempatkan diri di seberang tempat Jimin.

Dia memasang mimik bingung, turut membuatku mengernyit. "Mana pelukannya?" Sontak aku merotasi bola mataku, sementara dia tergelitik. "Bercanda, Yumi," pungkas Jimin. Dia menyambung kekehan sebagai pemberhentian sementara. "Begitu menerima teleponmu, aku langsung mengambil penerbangan tercepat. Padahal jadwal pulangku sebenarnya adalah besoknya."

Aku tersenyum miring. "Wah, Jimin, kau ingin membuatku tersanjung atau tidak enak hati?"

"Aku merindukanmu."

Kali ini, aku yang terkekeh. "Mulutmu makin manis, ya. Pernah berpikir, berapa banyak gadis yang dipastikan tumbang akibat ...." Kugantung kataku, menggantinya dengan isyarat dagu.

Come to YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang