02. Deal

8.1K 1.1K 62
                                    

Min Yoongi menepati janji. Sehari setelahnya, dia langsung memberi kabar, jika si pemilik pekerjaan tersebut akan langsung ke rumahku pada hari ini. Mulanya aku terkejut, kengapa harus mereka yang menghampiri, bukannya aku. Dari baunya, pekerjaan ini terasa aneh. Sontak aku menggeleng, masih untung kudapatkan.

Aku melirik jam usang yang tergantung di dinding. Sesuai waktu yang telah dijanjikan, sebentar lagi mereka akan datang. Beralih, mengedar ke seluruh sudut ruangan kemudian berujung pada diri sendiri, memastikan tingkat kelayakan tempat dan pemiliknya. Terlebih tamu yang akan datang tersebut merupakan golongan atas. Meskipun tidak akan mengubah apa pun yang ada, tetapi apa salahnya?

"Begini cukup, kurasa," gumamku.

Tak lama setelahnya, bel berbunyi, menandakan tamu tersebut telah datang. "Tunggu sebentar!" seruku sembari berderap mendekati sumber suara. Aku menjulurkan tangan lalu membuka pintu. Pemandangan yang tersaji adalah seorang pria berpakaian serba hitam, berkacamata hitam, dan bersurai abu-abu keunguan. Jika saja tidak ingat aku memiliki janji, mungkin saja aku berpikir orang di hadapanku ini seorang idola tersesat. Malah lebih parah, aku sedang dalam perangkap semacam acara televisi yang pernah kutonton.

"Nona?"

Panggilannya mengembalikan fokusku. Aku buru-buru menunduk hormat, mempersilakannya masuk. Orang tersebut mengangguk kemudian masuk sesuai arahanku. Ada bagian paling mengejutkan, yaitu ketika dia melepaska sepatu mengilatnya. Padahal memang suatu dinamika biasa, sepele.

Benar. Rasanya sungguh beruntung, kami memiliki satu set meja dan kursi. Jika tidak, mungkin aku bakal kelabakan mencari tempat duduk layak untuk tamu di depanku ini.

Aku memerhatikan apa yang dia lakukan, tetapi tetap menjaga kewaspadaan. Mulai dari meletakkan tas hitam di atas meja, mengorek lalu mengeluarkan sesuatu di dalamnya, hingga melepas kacamata yang membuat praduga kalau dia lebih mirip idola itu konkret.

"Nona, apa kau masih di sini?"

Seperti disambar petir, aku kembali pada dunia. Aku sendiri heran, mengapa aku bisa tidak fokus begini. Apa karena fobiaku terhadap warna ungu atau pemuda kutaksirkan berumur beberapa tahun di atasku ini terlalu mencolok? Entahlah, aku tidak mau menguras rasioku lebih dalam. Lekas saja kukembalikan diriku seperti semula.

"Iya. Jadi, pekerjaan seperti apa yang dimaksud?" tembakku langsung.

Dia terdiam. Aku juga ikut diam. Apa aku salah? Aku takut omonganku memang demikian. Namun, selanjutnya dia menarik sebelah sudut bibir ke atas, memampangkan betapa dalam lesung pipitnya. "Aneh, kau terasa familier. Ah, namaku Kim Namjoon." Si pemilik nama Namjoon ini menyodorkan lembaran kertas padaku. "Sebelum membahas, ada baiknya membaca semua yang tertulis di sana, Nona Yumi. Baru setelahnya, aku akan menjelaskan poin penting maupun pertanyaanmu."

Aku tidak heran dia tahu namaku, karena pasti dia telah menerima informasi tentangku dari Yoongi. Aku menuruti kata-kata Namjoon. Meski tidak banyak, butuh waktu agar tercerna dengan baik. Sekoyong-konyong pupilku mengecil kala menangkap dua konklusi di sana, pernikahan kontrak beserta nominal-nominal gila yang tertera. Seakan tidak cukup, sepenggal nama di luar nalar pun ikut andil. Pekikan hampir lolos, jika kontrolku tidak bagus.

Jung Hoseok?

Jung yang itu, 'kan?

Anggota dari keluarga konglomerat itu, 'kan?

Sekarang aku yakin, pasti Namjoon tengah menelitiku. Aku berusaha setenang mungkin.

"Jadi, pekerjaannya adalah menjalani pernikahan kontrak?" pancingku terdengar agak mengganjal di akhir.

"Benar. Terserah kau ingin menyebut ini pekerjaan, perjanjian, atau kesepakatan," jawab Namjoon santai. "Bagaimana?" sambungnya.

Ini benar-benar menarik, sebenarnya. Menikah dengan salah seorang yang pastinya akan menjamin hidupmu sampai tujuh turunan, siapa yang sanggup menolak? Hanya dalam kurun enam bulan, kau dapat menuai seperempat isi dari satu bank terkenal di daerahmu. Aku akan menerima kesempatan emas ini, karena aku sudah tidak punya waktu untuk berpikir dalam kurun lama.

"Ah, ada satu hal penting yang harus kau pertimbangkan sebelum menerima kesepakatan ini," interupsi Namjoon membuat pergerakan tanganku yang akan menoreh nama di kertas itu terhenti lantas berpikir pada alasan mengapa Jung Hoseok harus terlibat dengah hal seperti ini.

Mengapa harus ada kesepakatan? Bukannya dia kaya raya? Tunjuk seorang saja, pasti tidak akan ada penolakan, bukan?

"Jung Hoseok. Saat ini, dia menyandang status penderita cacat mental."

Sekoyong-konyong mataku terbelalak. Pulpen yang bertengger manis meluncur mulus ke bawah. Tidak ketinggalan, otak malangku pun dipaksa perpikir dua kali lebih berat.

Beberapa menit lalu, memang tiada keraguan yang singgah padaku. Namun, sekarang, cacat mental? Jujur, aku tidak bisa membayangkan. Perlahan, aku tergoyahkan. Potensiku untuk menjadi orang munafik semakin dekat. "Hah?"

"Ini terjadi sekitar dua tahun silam. Jung Hoseok mengalami kecelakaan yang juga merenggut nyawa Ayahnya. Dari kecelakaan itu, Hoseok mendapatkan cedera berat pada bagian belakang kepala yang merusak beberapa sarafnya. Alhasil, keadaan psikisnya terganggu hingga membuat sifat dan pola perilakunya serupa dengan anak umur tujuh tahun. Mundur dua puluh tahun dari usia sesungguhnya." Namjoon memberi jeda. Dia menghela sejemang kemudian melanjut, "Tapi tenang saja, dia bukan penderita cacat permanen. Kendati tidak dapat disembuhkan secara integral dalam waktu sedemikian singkat, setidaknya bisa diminimalisir intensitas kemunculan perilaku dari kemunduran mental tersebut. Jika dipersentasekan, sudah empat puluh persen kenormalan Jung Hoseok kembali. Maka dari itu, kami membutuhkan Nona Yumi untuk membantunya. Tidak, bukan hanya dia, tetapi juga keluarganya."

Aku mengerjap pelan berimbang napas yang persis pelannya. Aku turut berduka, tetapi apa benar pekerjaan inilah yang Yoongi tawarkan? Kupikir kelak hanya akan direpotkan dengan status, rupa-rupanya malah lebih berat dari perkiraan. Sifat dan pola perilaku serupa anak umur tujuh tahun yang artinya dia persis layaknya Jungkook, ditilik dari sudut psikologisnya. Jungkook mungkin terasa amat lucu. Namun, untuk seukuran lelaki dua puluh tujuh tahun? Astaga, sulit tergambarkan! Aku berada di jalan buntu.

"Bagaimana, Nona Yumi?"

Suara berat Namjoon membuatku kelabakan. "Eh-sebentar, beri aku waktu mencerna semua ini," pintaku padanya. Benar, aku butuh waktu yang lebih dari cukup, tetapi keadaan tidak mau menoleransi. Dia enggan mengerti. Bahkan di kala genting, dia kelewat menekan melalui deringan bising ponselku. Aku berdecak pelan. Lekas kuraih, mataku bergerak seiring tulisan yang tertera.

Keunhyang Hospital.

Ada apa ini?

Aku memandang Namjoon sebagai isyarat memohon izin. "Maaf, Tuan Namjoon." Anggukan kecil yang kuperoleh. Aku beranjak, sedikit membangun jarak pada Namjoon. Tanpa basa-basi, kuterima panggilan tersebut. "Halo?"

"...."

Sekonyong-konyong kakiku melemas, aku tersimpuh. Sepanjang ocehan puster lewat telepon, yang terdengar hanyalah Jeon Jungkook dan kritis. Getaran gamang menyinggahi tubuhku seolah tidak peduli cicitan-cicitan di sebalik benda canggih itu.

"Jika kau menerima kesepakatan ini, tidak hanya akan menerima apa yang tertera," ujaran Namjoon menggema. Perlahan tapi pasti, aku menoleh pada si pemuda berlesung pipit. Air mataku sudah meluncur begitu saja tepat ketika Namjoon menimpali, "Tetapi di detik itu juga, seluruh kebutuhan Jeon Jungkook akan kami urus."

Dia seolah menegurku, bahwasanya alasanku masih benapas hingga sekarang hanya karena pemilik nama itu. Terlebih lagi, dia seolah mengingatkanku, jika di dalam hidupku tidak ada yang namanya pilihan.

Aku memejamkan mata. Maka dari itu, kubiarkan harga diriku terkubur, hilang dan lenyap selama enam bulan. Aku tidak peduli betama lama dan sulitnya nanti saat mencarinya lagi. "Ya, aku terima."

Lagipula, ini lebih baik ketimbang menjual organ tubuh bukan?[*]

Come to YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang