01. A Job

15.8K 1.3K 50
                                    

Kaki ini berhenti melangkah. Sebagai gantinya, tubuh ini pun merosot ke bawah. Punggung ini merebah, bertumpu pada dinding. Persetan dengan sirat dari atensi orang lalu-lalang. Yang jelas, aku hanya ingin istirahat sejenak.

Lagi pula, aku tidak tahu harus ke mana lagi. Barusan adalah tempat kelima yang kudatangi sejak aku mencari lowongan pekerjaan pada tempat yang berbeda di hari ini. Ya, hanya untuk hari ini. Menyenangkannya lagi, aku langsung gugur di tempat. Entah beruntung atau sial, aku tidak tahu.

Otakku tidak sampai memikirkan alasan apa di balik penolakan-penolakan itu. Apa aku terlalu aneh? Kurasa tidak. Aku normal, aku biasa. Kelewat biasa bahkan. Atau jangan-jangan kelewat biasa itulah alasannya? Ck, menggelikan, padahal hanya kedai ayam pinggiran. Bukannya sombong, sebelum ini aku pernah bekerja di restoran bintang empat.

Sudah empat bulan aku dalam keadaan seperti ini. Keadaan yang diakhiri dengan helaan napas panjang, berat dan penuh beban. Sebuah leksikal bermakna gelap terus saja menghantuiku, menyerah. Pernah aku mencoba menggapai kata itu. Namun, tatkala kilasan wajah yang menjadi satu-satunya harta berhargaku terlintas, kata menyerah pun lekas kulepas. Wajah yang kelewat manis berpadu dengan gigi kelinci lucu milik adikku itu mampu melenyapkan semua penatku.

Terkadang aku heran, mengapa takdir begitu keji pada Jungkook yang masih berusia tujuh tahun ini? Mengapa harus menempatkan penyakit mematikan itu pada tubuhnya yang masih lemah? Mengapa Tuhan harus menaruhnya pada orang yang berasal dari stratifikasi kelas tiga? Kenapa tidak pada mereka yang kelas satu? Setidaknya mereka memiliki banyak harta untuk menyembuhkannya, dan setidaknya mereka tidak perlu banting tulang untuk menyembuhkannya.

Aku, Jeon Yumi, dulunya tidak terlalu mementingkan uang. Bukannya naif, tetapi aku dididik secara benar agar terlalu maruk dengan benda tersebut. Ya, meskipun kami memang membutuhkannya. Aku dididik untuk tetap sederhana agar tidak menggilainya.

Namun, itu dulu. Sekarang, aku berubah menjadi gadis yang gila uang. Jujur, aku tidak mau melakukan semua hal yang menekanku semacam ini. Aku bahkan tidak peduli, jika aku harus mati kelaparan karena tidak punya sepeser pun. Akan tetapi, di ujung sana, di salah satu rumah sakit, ada satu nyawa yang harus kuperjuangkan.

Aku tahu, uang bukan daun yang bisa dipetik kapan saja dan di mana saja. Atas hal itulah, aku harus berusaha keras untuk mendapatkannya. Harus menadah? Menadah pada siapa? Orang tua pun aku tidak punya.

Lebih dari satu tahun lalu, tepat tiga bulan setelah diagnosis penyakit kanker sumsum tulang belakang Jungkook, sebab terlalu semangat bekerja mengumpulkan biaya, ayah sampai menghabiskan tenaga dan napas terakhirnya. Di lain sudut, ibu yang menjadi harapan lain, justru mengikuti jejak ayah. Dia meninggal karena terlalu banyak tekanan. Andai tidak ingin susah, kau bisa menyebutnya bunuh diri.

Ah, sebelum Jungkook lahir, dulu aku pun memiliki seorang adik. Namun sayangnya dia telah lebih dijemput oleh maut karena fisiknya yang terlampau lemah. Indikator utama bukan penyakit, tetapi akibat benturan keras dari salah satu kendaraan mewah ketika keluargaku masih menetap di Gwangju. Padahal saat itu, dia masih kecil, bahkan lebih kecil dari Jungkook yang sekarang.

Aku sempat aku mengira, bahwa keluarga kami ini di kehidupan terdahulu adalah keluarga yang terkutuk hingga semuanya berakhir ironis dan menyedihkan. Selama dua puluh empat tahun ini, aku bahkan tidak pernah merasakan kebahagiaan berarti, kecuali kebahagiaanku tatkala melihat Jeon Jungkook. Pun jangan berpikir aku tidak pernah berdoa. Aku rajin berdoa, dulu. Sebelum kemalangan ini merangkak ke titik terparah.

Untuk sekian miliar kali, aku menghela payah. Menyeka bulir keringat akibat terik pada jam dua siang. "Aku harus ke mana lagi?" gumamku. Aku menundukkan kepala, berusaha mengingat tempat mana lagi yang sedang membutuhkan tenaga pada surat kabar edisi kemarin. Percuma, otakku terlalu penat sekarang

Di ambang keputusasaan, sekonyong-konyong ingatanku tentang seorang yang bernama Yoongi menawarkan pekerjaan terputar jelas. Pekerjaan yang masih terasa samar, sengaja dibuat misterius, menurutku. Namun, bayarannya itulah yang menggiurkan, sangat fantastis. Waktu itu memang lekas kutolak, karena Yoongi tidak memberi tahu dengan jelas pekerjaan seperti apa yang harus aku lakukan.

Bicara soal Yoongi. Aku dan Yoongi adalah teman satu perkumpulan pecinta musik jalanan. Aku sedikit banyak tahu tentang dia yang dingin dan misterius itu. Dulunya, kukira dia adalah seorang gelandangan. Sebab, kebanyakan anggota memang gelandangan, meski tidak sedikit dari keluarga berada. Kendati demikian, jenis pakaian yang melekat di tubuh putihnya tidak menegaskan dia dari kalangan bawah. Benar saja, ternyata Yoongi adalah putra dari keluarga Min. Keluarga yang terkenal dengan kekayaannya, bersanding dengan keluarga Jung, Kim, Park dan sebagainya.

Tanganku bergerak, menggapai benda yang dapat mendekatkan jarak seseorang dari jauh, mencari kontak dengan Yoongi lalu menghubunginya. Kini persetan model pekerjaannya soal pekerjaan macam apa yang akan Yoongi berikan untukku. Lagi pula, apa hidupku ada pilihan membahagiakan lain? Pastilah, tidak.

"Oh, Yoongi Oppa!" kataku sedikit berseru sewaktu panggilan telah tersambung.

"Berhenti memanggilku begitu, Jeon!"

Aku berdecih. Hal monoton saat aku memanggilnya menggunakan panggilan oppa adalah, dia akan menghardikku. Ungkapnya menggelikan saat kata itu keluar dari mulutku, padahal dia memang lebih tua empat tahun dariku. Dasar memang.

"Aku lebih muda darimu, seorang gadis pula, ingat? Atau haruskah aku memanggilmu Hyung?" balasku, juga sama monoton.

"Katakan tujuanmu segera."

"Baiklah, langsung aja." Aku tahu, Yoongi tidak suka basa-basi, pun diriku. "Apa pekerjaan waktu itu masih tersedia?"

"Iya, masih. Kenapa? Sudah tertarik?"

Mengejutkan.

Kendati sudah mengira, mendengarnya langsung tentu saja mengejukan. Mengherankan lebih mendominasi. "Kau yakin bukan pekerjaan semacam penjualan organ, 'kan? Ah, semacam itu pun tidak masalah. Setidaknya aku tahu, dengan menjual apa yang ada dalam tubuhku ini, adikku bisa menjalani hidup lebih lama. Adikku bisa merasakan hidup seperti halnya kalian, para orang yang hidup berkecukupan. Kuharap, aku pun tetap bisa menemaninya, walau sejenak."

"Berhenti membuat drama, Yumi, kau membuatku mual!"

"Ya ampun." Benar-benar pria dingin, tidak selaras dengan rupanya. Kuharap perempuan yang akan menjadi takdirnya nanti ialah perempuan berhati baja, selembut sutra, dan seterang surya. "Oke, oke. Ya, aku tertarik. Aku membutuhkannya."

"Aku konfirmasi terlebih dahulu. Kalau sudah direspon, akan kukabari. Kau tunggu saja. Tidak akan lama."

"Hm. Akan kutunggu."

Belum sempat menyentuh tombol merah, Yoongi terlebih dahulu menutup panggilan. Cih, menyoal ini, aku memang selalu kalah darinya. Aku beranjak dari posisiku. Ugh, ternyata pegal juga. Lekas aku mengembalikan ponsel ke tempatnya bermula.

Semoga Yoongi cepat memberi kabar baik, agar aku cepat menyudahi nasib buruk ini.[*]





Ini versi revisi ya, guiiss.

with luv,

ryuu.

Come to YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang