14. A Light

6.2K 982 107
                                    

Aku adalah bukti nyata dari umpama bagai raga tak bernyawa. Jiwaku kosong dan hampa, terkekang di sebuah guci abu yang terkungkung di ruangan berjejer rak-rak dingin. Jeon Jungkook-ku, adikku telah tiada. Dia terbang ke langit yang entah kenapa begitu cerah, tidak kontras dengan suasana.

Jungkook, apa sebegitu senangnya kau membiarkan Noona menjadi sebatang kara di dunia keji ini?

Mataku terlalu bengkak dan juga kering, tidak sanggup lagi memproduksi air untuk membasahi. Aku terduduk kaku di hadapan dinding kaca, kebun lavender itu kehilangan nilai lebih, kalah saing dengan figura minimalis Jungkook dan segala kelebihannya di tangan.

Setelah prosesi penghormatan terakhir Jungkook yang hanya dihadiri segelintir orang, ibu yang diikuti Namjoon, Hoseok, serta persetan siapa lagi, mengajak pulang. Ini karena di penglihatan mereka, aku seperti mayat hidup.

Rumah ini tidaklah senyap, aku tahu, ada orang-orang yang berkeliaran di sini. Telingaku tidak tuli, tetapi aku yang menuli. Menolak laju pergerakan kinerja. Padahal kobaran semangat hidupku memanglah terkikis semenjak kemalangan keluargaku kian bengis, tetapi kenapa?

Bongkahan yang menyumbat di hatiku harusnya bisa kuhilangkan. Namun, sekeras apa pun mencoba, tepukan pun tidak akan mampu menghapuskan. Sedari mengijak garis detakan, ini tidak adil. Sungguh tidak adil.

Kenangan bersama Jungkook makin meliar di sudut-sudut ingatan seiring usapan ibu jariku menyapu letak wajahnya. Kemanisannya biasa menyembuhkan, telah menjadi pengoyak luka semakin dalam menghunus dasar.

Aku menoleh pada meja yang biasa memanjakanku di beberapa waktu. Mematung barang sejenak. Bangkit, perlahan aku berjingkat mendekat ke benda yang terbaring apatis di sana. Itu gunting yang kugunakan merapikan ujung poni Hoseok pagi kemarin. Kuraih segera lalu kuarahkan ketajamannya di pergelangan tangan.

Pasal mayat hidup, bagaimana kalau kuhilangkan saja kata hidup di sana? Dan berakhirlah catatan sejarah sebuah keluarga menyedihkan dengan kisahku sebagai penutup.

"Tidak, Yumi! Jangan!"

Terlambat, Hoseok.

*****

Kepalaku berdenyut hebat ketika bunyi terseret menusuk gendang telinga. Hidungku mengendus bau menyengat, apakah ini neraka? Namun, tidak mungkin tempat itu berbau alkohol, aku akrab dengan rasa itu.

Kelopakku berusaha semampunya untuk menangkap kepastian. Gurat dinding berwarna krem samar-samar tercetak. Mendadak aku meringis, tampaknya Yang Kuasa masih ingin bermain dengan kemalanganku, seolah yang terjadi selama ini masih hanya berupa permulaan. Aku masih hidup, meski dibantu alat pernapasan.

Dengan lambat, aku mengangkat tangan yang menjadi sumber dibawanya aku ke tempat penyalur kenangan ini. Perban terlilit rapi. Keefisienan gunting patut disangsikan menjadi alat pemotong nadi.

Terjadi geliatan mengusik rasio, sebuah kepala terangkat ke atas. Paras itu tidak seperti lazimnya, tercetak lelah dan kacau, tetapi tersalur lembut. "Kau sadar?"

"Jadi, kau tidak telat?" Aku mengisik. "Seharusnya, kau biarkan saja aku mati. Menyusul Jungkook adalah pilihan terbaik."

Rahang Hoseok mengeras seketika. "Lakukanlah apa pun semaumu, terserah, asalkan jangan bertindak seperti itu lagi! Sayangi nyawamu, Jung Yumi! Berapa lama mereka hidup dan kapan mereka mati, semua makhluk di dunia ini sudah ada porsinya masing-masing. Kau pikir Jungkook akan senang atas pilihanmu? Kau sangat-sangat keliru!" Dia menghela sebentar lalu meraih genggaman tanganku. "Tolong jangan bodoh, berlaku seolah-olah kau sendirian. Nyatanya, kau tidak, Sayang."

Aku larut dalam penuturan Hoseok yang manis bila tepat pada waktunya. Hatiku tersinggung telak, membarakan emosi dan amarah yang membeludak. Kendati demikian, sebisa mungkin kujejal kembali bersarang, akibatnya air mataku bergelayut di ekor. "Baiklah, tidak kuulangi lagi," kataku. Aku menyerah soal mengakhiri diri. "Tapi biarkan aku pulang ke rumahku. Aku ingin sendiri di sana, dan tidak boleh satu pun di antara kalian yang mengusik, sampai saatnya tiba." Secara sepihak, kulepaskan genggaman Hoseok. "Atau kekonsistenan janjiku tidak terjamin."

Come to YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang