Kelamnya malam menyelimuti bumi. Berterima kasihlah pada penemu lampu, tanpanya Seoul, tidak, bumi tidak akan mungkin terbebas dari kegelapan. Saat ini, aku tengah merebahkan diri di sofa kamar inap Jungkook. Meski begitu, sofa ini sangat nyaman, bahkan lebih nyaman ketimbang kasur di rumah.
Hari ini, aku tidak pulang.
Mataku memicing pada jam mahal yang terpajang di dinding ruangan. Sudah pukul sebelas, tidak mengherankan jikalau Jungkook telah terbuai dalam dunia mimpi yang lebih baik daripada realitas. Aku mendongak pada langit-langit ruangan, menerawang di sana.
Masalah kesulitan tidur merundungku, padahal keletihan merengkuhku. Apa yang salah sebenarnya? Apa yang membuat mataku ini menunda tubuhku untuk beristirahat? Apa karena pertemuanku dengan Jung Hoseok? Agaknya memang benar. Lantas, apa lagi yang membuat mata dan akalku masih begitu segar di waktu hampir tengah malam?
Sejujurnya, sikap Hoseok sesaat setelah aku mengucap salam pamit adalah pemicunya. Dia terlihat lain waktu itu. Benar saja, Namjoon menambahkan, bahwa tingkah tersebut merupakan secuil kilasan normalnya seorang Jung Hoseok. Leksikal secuil cukup mengganggu, membuat percikan rasa penasaran perlahan menyeruak. Kalau secuil saja dapat membuat hati bergetar, bagaimana jika seluruhnya kembali normal? Oh, tidak. Kebuntuan selalu mengiringiku.
Omong-omong menyoal Jung Hoseok, apa yang dilakukannya sekarang, ya? Sudah tidurkah? Masih betah bermain dengan Namjoonkah? Atau ... masih menunggu kepulangan ibunya yang tampak lebih peduli pada hartanya saja?
Aku teringat kata-kata tentang betapa kesepiannya dia di sana. Sungguh, masih segar di ingatanku getaran di setiap nada. Menusuk serta mengiris. Sekeji-kejinya nasibku setidaknya aku beruntung, aku tidak merasa kesepian, karena aku memiliki Jungkook sebagai pelipur lara. Sudah kukatakan, bukan, Jungkook adalah segalanya bagiku.
Lama termenung membuat mataku akhirnya memberat. Kulintangkan tangan kananku sampai menutupi mata. "Kuharap kau sudah tertidur, Jung Hoseok," lirihku.
Aku memilih mengharapkan opsi pertama sebelum kesadaranku melayang.
*****
Pagiku ini dimulai oleh keterkejutan. Alasannya karena menerima pesan pemberitahuan, bahwa rekeningku—rekening ayah, sebenarnya—mendadak terlampau buncit. Bahkan aku sampai terjengkang dari sofa saking kagetnya.
Sesaat setelah mengumpulkan nyawa sepenuhnya, sedikit membenahi diri, aku berinisiatif untuk memastikan kevalidan pesan itu langsung. Ternyata benar, rekeningku itu nyaris melahirkan.
Jujur, aku heran, mengapa mereka mengirimkan gajiku dengan sangat cepat, bahkan sebelum aku memulainya. Apa mereka tak takut? Bisa saja, 'kan, aku membawa Jungkook serta uang-uang tersebut kabur ke tempat yang jauh detik ini juga tanpa mengindahkan kesepakatan. Namun, tidak, tidak. Aku tidak akan melakukannya. Aku tipikal orang yang berpegang teguh akan suatu janji. Jika aku telah berjanji, maka kulakukan. Aku akan tetap profesional, apalagi bonus lebihnya kesepakatan kami tersebut mengandung unsur hukum.
Sudahlah, tidak usah diperuwet. Yang jelas, kemiskinan yang menghantuiku sudah menghilang, mencari mangsa baru.
Rencananya, pagi ini aku ingin membeli makanan bergizi baik. Akhirnya, 'kan? Setelah sekian lama tidak terasupi dengan makanan yang cukup layak. Tentu saja, terkhusus Jungkook, aku akan membelikannya sesuai dengan anjuran kesehatan.
*****
Dengan menenteng bungkusan makanan yang kubeli di tangan kiri dan bungkusan berisi mainan yang kubeli di toko persimpangan Keunhyang di tangan kanan, kaki-kakiku berayun ringan kala mengetahui di ujung belokan kiri sana adalah tempat yang kutuju. Perjalanan kembaliku terasa begitu, entah mengapa, santai tanpa beban. Senang, akhirnya aku dapat mengabulkan salah satu dari sekian keinginan kelinci kecilku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Come to You
Fanfiction[COMPLETED] [Prev. Title; Marriage Contract with Jung Hoseok] Jeon Yumi rela menyerahkan seluruh kehidupannya selama enam bulan ke depan dengan menikahi seorang pemuda cacat mental dari keluarga kaya raya bernama Jung Hoseok. Menandatangani seb...