Gurat silau menelusuk tanpa izin melalui celah kecil, bergelayut tegas di bulu mata. Menggerayang seraya berdesis, bahwa waktu tidurku selesai dan aku harus mulai menghadapi tiap-tiap agenda yang takdir tuliskan di jurnal kehidupan. Mataku terbuka perlahan, aslinya, sungguh enggan mengerjap lebih awal. Biasanya, binar mentari menghujam begitu tajam ketika si kembar tersingkap separuh. Namun, kala ini berbeda, ada sesuatu yang membentengi salah satunya.
Seonggok raga.
Aku berkedip lambat. Lelapku tidak lagi hanya bersama Jungkook, tetapi juga bersamanya. Bersama dia yang dalam tidur masih tetap sama, penuh damai juga cerah, seolah tidak ada beban setitik pun ditanggung. Di luar sadar, kususuri wajah yang semalam berbuat ulah sehingga mengganggu jadwal tidur lekat-lekat. Napas dari hidung bangir itu teratur, helaian rambut pekat terjuntai. Tidurnya kelewat rapi, miring berhadapan terselimut.
Kerapkali terlintas di benak, bahwa ini hanya sekadar bunga tidur yang berada di perbatasan kelam dan terang. Sukar dicerna, tetapi beginilah adanya. Jalan menghalangi Jungkook diseret ke lubang hitam amat rumit, seperti kain yang mutlak disambung ikatan dengan kain lain lantaran sebelah tanganku juga mesti menyambut pria ini. Kendati demikian, terima kasih. Sungguh.
"Ng ...."
Senyum simpul kuulas. Juga terkadang, memandang Hoseok seolah tengah menyaksikan Jungkook, bagiku. "Sudah bangun?"
"Selamat pagi, Yumi," sapanya sedikit serak. Menguap, kedua tangan itu mengusap kelopak beberapa kali sebelum meregang ke atas.
"Pagi."
Aku menyingkap selimut lalu beranjak duduk ke bibir kasur. Di sekon sama, Hoseok juga melakukan hal serupa, lainnya dia mundur untuk menyederkan punggung. Senyumnya semringah. "Tidur bersama Yumi serasa ditemani Mama. Hoshiki suka itu."
Berpindah menuju meja rias guna membenahi rambut yang kurang rapi, aku terkekeh kecil. Pasal tidur, ya, semalam kami langsung tidur. Benar, hanya tidur. Tidak melakukan apa pun selain itu. Bagiku, untuk melakukan apa-yang-harusnya-terjadi, pasti butuh perhitungan, belum lagi di pihakku, ini merupakan perjanjian. Namun, itu bukanlah koordinat permasalahan, hanya kupikir, akan lebih baik dimulai secara pelan dan bertahap.
Mungkin, perbincanganku waktu itu dengan Seokjin yang mencetuskan, "Kau mesti menunjukkan bagaimana itu dewasa lewat sikap dan kelakuanmu.", hanyalah arahan peralihan agar tidak membuat harga diriku terluka. Aku tahu. Akan tetapi, menurut perspektifku, cara terbaik supaya mental Jung Hoseok dapat berangsur kembali pada hakikatnya ialah dengan di samping menerapkan yang Seokjin katakan, juga mengajarkan apa itu dewasa melalui interaksi-interaksi implisit, meski aku sama sekali tidak ahli. Jujur, segala yang melekat termasuk tubuhku, hak patennya. Jadi, untuk urusan harga diri, sudah kutegaskan, bukan?
"Selama ini, bersama siapa saja kau tidur?" Aku memutus tali permulaan. Kulirik Hoseok di sela menggelung rambut.
Hoseok menengadah, jemarinya berkelit mengira. "Mama, Ayah dan Noona sering di waktu kecil. Namjoon paling sering, Yoongi Hyung juga, Seokjin Hyung paling menyebalkan, Jimin rasanya juga pernah. Hm, siapa lagi, ya ...." Lipatan dahi yang kentara menggambarkan dia berusaha berpikir. "Ah, Eunkyung! Terus—"
"Jung Eunkyung? Mantan tunanganmu?" Aku menyela, sigap memutar tubuh agar berpapasan.
"Mantan tunangan?" Hoseok membeo. Anggukan keragu-raguan dia gesturkan. "Hoshiki pikir begitu."
"Apa saja yang sudah kau lakukan dengan mantan tunanganmu itu?"
Sontak dia mengernyit, meneleng lalu menggaruk ceruk lehernya. Sorot mata Hoseok seolah berkata, bahwa dia tak mengerti. "Apa saja? Entahlah, Hoshiki bingung," ulangnya lagi.
Terlampau gemas, aku berjingkat ke arahnya, mengambil posisi rapat-rapat, lantas kusambar sebelah tangan Hoseok untuk kugenggam. "Apa begini?" Lalu mengecup bibirnya dalam tempo kilat. "Begini?" Menangkup rahang tegasnya, jeda dua detik kemudian menggelayuti bibir itu kembali dengan tiga lumatan telak. "Begini?" Dan di akhir, dalam satu kali tarikan napas, kuhempaskan tubuh Hoseok yang tidak sempat merespon agar kembali merebah, merangsek di atas tubuhnya, menempatkan sepasang lengan di samping kepala bagai kurungan, dan perlahan mengikir jarak antar wajah. Aku berdesis, "Atau begini?"
Hening.
Yang ada hanya deru napas masing-masing. Aku masih menatapnya, begitu pula dia. Hoseok sendiri terlihat kehilangan keahlian menanggapi berbagai suasana, bahkan matanya sajalah yang berkedip, itu pun tidak idealis. Namun, selang bersekon-sekon, Hoseok mengangguk kecil seakan menimbang. Netra hangat mengilap, dia kembali.
"Hm, ya ...." Sekonyong-konyong, telapak kirinya membaluti punggung tanganku. "Begini." Lalu tangan bebas lain menelusuk tengkuk, mengarahkan wajahku untuk makin mendekat pada wajahnya, meninggalkan sebuah kecupan di bibir. "Begini." Tidak berhalang, dia mengembalikan lumatanku tadi di jumlah seimbang. "Begini." Dan kemudian, gerakan Hoseok tak terkira, dia menukar posisi kami, saling menindih bersama jarak antar wajah nyaris hilang. Dia menerapkan persis dengan yang telah aku lakukan padanya. "Kalau yang begini, seingat Hoshiki, belum."
Dalam keterlambatan respon atas stimulus tersebut, aku mengatur detakan agar sinkron. Rongga indra penglihatanku dipenuhi oleh parasnya. Air muka Hoseok mungkin sedang jenaka, tetapi kilatan maniknya, sulit ditelaah.
*****
Gema seretan langkah terperangkap di pendengaran, aku yang tengah berbenah perabotan masak yang usai kugunakan memicingkan atensi. Sehabis memberi serangan tetapi malah memperoleh serangan balik tanpa canggung, Hoseok segera pamit ke kamar mandi. Aku? Aku yang mengaku-ngaku bukan tipikal pecanggung, kikuk di tempat.
Oke, aku belum terbiasa.
Menunggu Hoseok menyelesaikan urusan jasmani, aku berinisitif menyiapkan sarapan guna mencukupi nutrisi suami sebagaimana para istri kebanyakan. Maka dari itu, berdirilah aku di depan wastafel. Tak perlu mengebel pelayan, karena sudah kutandaskan sedikit dari melimpah bahan pangan di lemari pendingin menjadi olahan siap konsumsi.
Daging, telur, sayur, buah, dan susu. Lengkap, sesuatu yang susah ditemukan pada benda yang sama di rumahku sendiri. Ah, seperti janji Ibu, kuharap kelinci kecilku baik-baik saja.
"Wah, Yumi memasak semua ini sendiri?" Hoseok tampil dalam pemandangan santai, kaus berlengan panjang dan celana selutut. Rambutnya masih tampak basah. Wajar, mungkin, dia lupa kegunaan pengering rambut, atau lebih parah, wujudnya. "Hoshiki pikir, pembantu Mama pasti sedih, kerjaannya berkurang karena Yumi, hehe." Dia tergelak atas rangkaian kalimat sendiri, tetapi masuk akal juga.
"Ayo, makan," instruksiku segera sesudah melemparinya ulasan simpul. Hoseok mengangguk atraktif. Namun, saat dia hendak menghempaskan diri ke kursi, aku menginterupsi dengan nada agak tinggi, "Hoseok, kemari sebentar!"
"Ah, Yumi mengagetkan Hoshiki!" Harusnya unjuk prostes, 'kan? Dia malah menyelingi cengiran. Tidak ada kemalasan di masing-masing tapakan. Hoseok bertanya, "Ada apa?"
Tanganku berayun, mengode Hoseok supaya lebih mendekat. Sampai tersisa dua jengkal. Mata cemerlang itu setia bergumam; ada apa. "Menunduk sedikit," perintahku, dan dia menurut begitu saja. Sejurus kemudian, aku berjinjit untuk menggapai bibirnya dalam sekali kecup. Cukup begitu, selebihnya biarkan arus rasa yang membawa. "Kita lakukan itu setiap hari, baik sebelum tidur maupun bangun. Oke?"
Hoseok memulai gelagat kebingungan, tetapi tetap mengangguk patuh. "Tapi Hoshiki tidak mengerti, sebenarnya itu tanda apa?" ungkapnya menekan di satu suku.
"Tanda sayang."
"Oh, begitu? Oke, Hoshiki sangat setuju!" Padahal tukasanku hanya asal cetus, tetapi reaksinya? Gembira sekali.
Aku memerintah, "Sana, habiskan sarapanmu!"
Lelaki itu kembali ke arah asal, dan kali ini, satu gerakan berbaliknya memicu keterkejutanku. "Yumi, sesudah sarapan, bagaimana kalau jalan-jalan dan bermain di luar?" ajaknya.
"Jalan-jalan?" Sementara Hoseok mengangguk, aku merotasi mata ke atap, berpikir di sana. Aku melanjutkan, "Bagaimana jika kau ikut denganku ke suatu tempat?"
Kukira, ini titik tepat memperkenalkan mereka.[*]
KAMU SEDANG MEMBACA
Come to You
Fanfiction[COMPLETED] [Prev. Title; Marriage Contract with Jung Hoseok] Jeon Yumi rela menyerahkan seluruh kehidupannya selama enam bulan ke depan dengan menikahi seorang pemuda cacat mental dari keluarga kaya raya bernama Jung Hoseok. Menandatangani seb...