[23] Permintaan

69 4 0
                                    

Seperti biasanya, setelah pulang sekolah Raina akan langsung ngacir ke Kafe Morca, melaksanakan tugasnya. Dia baru sampai di sana dan langsung meletakkan tasnya di sebuah meja dekat sana. Mengambil celemek yang tergantung dan langsung menghambur ke dapur pembuatan minuman.

"Rame ya Far? Untung nggak ada yang luat gue masuk ke sini." lapornya pada Farah.

Farah terkekeh. "Ada kok,"

Raina mengernyit. Tangannya masih telaten membuat minuman. "Siapa?"

"Tuh," Farah menunjuk ke salah satu meja. Meja nomor empat. Meja yang selalu di tempati Raga. Raina dapat melihat cowok itu duduk di sana bersama teman-temannya. Ketawa-ketiwi saling melontarkan jokes.

Sesaat Raina menatap Raga, cowok itu balas menatapnya. Sepertinya ia sadar ada orang yang tengah memperhatikannya walaupun dari jauh. Raga tersenyum ketika melihat Raina dari balik celah kecil di dekat sana. Sementara rona merah jelas tercetak di kedua pipi Raina.

Wajah Raga pun masih sama. Babak belur seperti tadi siang. Wajah khawatir juga bisa Raina tangkap dari Erga. Sepertinya cowok itu baru sadar akan keadaan wajah temannya.

Raga menangkis tangan Erga yang hendak memegang lukanya. "Janganlah, sakit."

Erga mengusap tangannya yang terasa perih akibat tebasan Raga. Ia melirik Raga sambil mencak-mencak. "Gila lo! Sakit tau!"

"Emang kenapa Ga? Kok bisa sampai gitu?" tanya Alavan pengertian. Ia tahu bagaimana rasanya menjadi Raga saat ini. Tipe teman yang peka.

"Geng-nya Rizal. Gue digebukin. Dia lagi-lagi ngungkit pasal kita ngempesin bola basket nya waktu itu."

Sontak, mereka berempat menaikkan satu alis. "'Kan, kita udah minta maaf."

"Ho'oh, kita harus buat perhitungan! Kasian gue liat bebeb Raga babak belur gitu. Muka udah jelek jadi tambah jelek!"

Raina tanpa sadar mengulas senyum.

"Far, ini kasi ke dia ya?" telunjuk Raina menunjuk ke arah Raga dan yang lainnya. Farah mengikuti arah telunjuk Raga kemudian mengangguk sambil tersenyum misterius.

Sesaat setelah nampan itu berpindah ke tangan Farah, Raina tersenyum samar-samar sambil terus memperhatikan objeknya.

"Nih," Farah meletakkan nampan berisi Milkshake itu di atas meja. Kernyitan pun muncul di dahi Raga. Meminta penjelasan. "Dari something spesial."

Setelah itu Farah pergi dari sana. Raga tahu siapa yang memberikan ini. Kemudian ia menoleh ke arah dapur dan mendapati Raina tengah menatapnya. Cewek itu melambaikan tangan sambil tersenyum ke arah Raga. Pipi Raga seketika memerah. Tak selang beberapa detik, sebuah tangan menabok punggungnya.

"Mikir ya jorok-jorok 'kan lo?" tanya Devin curiga. Raga memberenggut kesal dan mulai meminum Milkshake buatan Raina itu.

----

Raina merapatkan kardigan tipis berwarna pastel yang ia kenakan. Matanya terpancang lurus pada seseorang yang berada di seberang trotoar. Memakai seragam yang terkesan tidak dipasang dengan benar, rambut hitam legam, dan mata dengan irisnya yang hitam dan tajam.

Raina menghela napas. Duduk di halte dan menunggu taksi datang. Melirik arloji di tangan kanannya dan kembali menatap sosok itu. Dia menghilang membuat kernyitan di dahi Raina timbul.

"Hai?"

Raina terperanjat. Kemudian seluruh penghuni kebun binatang keluar mulus dari bibirnya. Ia menatap Raga, memberengut kesal sambil mencebikkan bibir. Ia melihat tadi Raga baru saja beras di seberang sana, tapi kini malah laki-laki itu sudah berada di sampingnya. Raina jadi sangsi kalau Raga itu manusia asli. Tingkahnya lebih banyak memiliki persamaan seperti jelangkung; datang tiba-tiba.

"Ngapain lo disini?" tanya Raina keki. Ia melipat tangan di dada.

Raga mendesah pelan. "Yang tadi makasih ya? Enak kok. Gue kira lo nggak bisa bikin begituan."

"Lo ngeledek gue ya?"

Raga tersenyum. Tangannya terulur mengelus puncak kepala Raina, refleks. "Ya enggak lah. Yang tadi itu beneran lho,"

Raina memutar bola mata malas. Raga bersedekap dan menyenderkan punggungnya di halte. Menatap Raina yang tengah menatap jalanan lenggang di hadapannya.

"Lo nunggu taksi, kapapun nggak akan dateng. Mending sama gue,"

Kepala Raina menoleh, menatap Raga dengan satu alis terangkat. Namun tidak ada salahnya juga menolak ajakan Raga. Lagi pula ia sudah tiga kali satu kendaraan dengan cowok itu.

Raina mengangguk. Berdiri mengikuti langkah Raga keluar daru halte dan menyeberangi jalan. Tangan Raga meraih tangan Raina. Mengisi kekosongan diantara celah-celah jari Raina. Sontak hal itu membuat Raina tertegun sejenak. Memandang Raga dengan jantung berdebar.

Sesampainya di seberang sana, Raga menuntun Raina untuk memakai helm dan naik ke atas motor Vespanya yang punya bunyi nyaring itu. Raina menuruti dan beberapa menit kemudian motor Raga sudah membelah jalanan ibukota Jakarta yang sedikit lenggang. Sang Matahari hampir hilang dan kembali ke peraduannya.

Raina menatap Raga dari sipon kaca motor. Laki-laki itu begitu fokus mengendarai motornya. Sampai akhirnya mereka sampai di sebuah perumahan elite. Kernyitan itu makin jelas tercetak di dahi Raina ketika Raga menurunkannya di depan rumah besar bergaya mewah itu. Tiga mobil mahal terlihat nangkring manis di garasi. Raina memperhatikan Raga. Kalau cowok itu punya banyak mobil, kenapa dia kesekolah pakai motor ini?

"Ngapain?" tanya Raina was-was.

"Ck, mau ena-enain elo!" Raga memutar bola mata. "Ya enggak lah. Ini rumah gue. Ayo masuk."

Awalnya Raina terkejut dengan jawaban pertama Raga. Namun setelah mendengar kalimat kedua, ia hanya bisa mencebikan bibir kesal. Ia mengikuti langkah Raga masuk ke rumahnya. Raga membuka pintu dan langsung di sambut oleh seorang perempuan paruh baya.

Jantung Raina berhenti berdetak.

Itu Hana. Di depan Raga, terlihat sangat hangat dan menunjukkan rasa keibuan. Raina jadi tidak yakin bahwa orang yang ia lihat bersama ayahnya malam itu adalah Hana.

Hana menoleh setelah memberikan pelukan hangat kepada Raga. Sepertinya ia sadar kehadiran Raina. Perempuan itu juga tak kalah terkejutnya dengan Raina. Namun sedetik kemudian ia berusaha menyembunyikannya dengan senyuman.

"Temannya Raga ya?"

Raina mengangguk.

"Ayo masuk!"

Perempuan itu berseru dan menggiring Raina masuk ke dalam. Raina duduk di sofa. Sementara Raga ijin pergi ke kamarnya yang ada di lantai atas. Hana duduk di samping Raina setelah memberikan Raina jamuan.

Hana menghela napas berat.

"Tante tahu, kamu tau tante." katanya. Membuka pembicaraan. "Tante mohon. Jangan bilang kejadian kemarin malam ke Raga. Dia baru kehilangan Papanya, Tante nggak mau di tertekan lagi." sambungnya dengan nada lirih. Tiba-tiba ada ribuan jarum yang menancap di hati Raina. Rasanya sakit.

Raina mendesah pelan. "Tapi kenapa tante berhubungan dengan ayah saya? Di depan saya pula. Saya nggak suka itu." kata-kata tegas itu muncul dari bibir Raina. "Tante nggak tahu, kalau ayah saya itu berandalan?"

"Tapi... " Hana ragu untuk melanjutkan. "... Tante terlanjur cinta sama ayah kamu."

Cinta? Hah. Basi.

"Bagaimanapun juga, Raga harus tau semua ini."

Mendengar kata itu, sontak tangan Hana terulur meraih tangan Raina. Menggenggamnya seolah-olah agar Raina tidak memberitahukannya kepada Raga.

"Tante mohon Raina. Jangan. Tante nggak mau Raga benci sama tante."

Tapi Raga bakalan benci sama gue.

Raina membasahi bibirnya. Dan menghela napas kasar. "Oke, Tan." hanya kata itu yang dia ucapkan. Ia tahu, Hana ingin menjaga perasaan Raga. Akan ada waktunya wanita itu memberitahukan hal ini kepada anak semata wayangnya.

A Hurt JourneyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang