[38] Runtuh

141 6 1
                                    

Tiba-tiba saja awan mendung menggantung disana, menggantikan sinar matahari yang tadinya bersinar membara. Langkah kakinya terlihat tergesa-gesa bahkan hampir seperti berlari, melangkah melewati setiap kotak gundukan tanah yang mendekap orang-orang yang telah pergi.

Jantung Raina berdetak lebih cepat daripada ritme sebelumnya. Air matanya terus menetes membasahi pipi, membuat mata biru itu memerah begitu dirinya sampai di salah satu kuburan yang tanahnya masih basah. Ditatapnya nanar nisan yang tertuliskan nama Samudera Wijaya.

Raina ambruk begitu saja dengan lutut yang terlebih dahulu menyentuh tanah. Ia tidak peduli dengan hujan yang mulai membasahinya, dengan angin yang berhembus kencang menusuk kulitnya.

Terima kasih hujan, telah menyembunyikan air mata ini.

Seperti kejadian yang lalu, dimana saat aku menangis ditemani hujan, dirinya datang dan memberikan ketenangan.

Namun sekarang, orang itu telah pergi selama-lamanya.

Apa yang lebih buruk daripada kematian?

Lebih baik Raina dibenci oleh Samudera dan dijauhi oleh cowok itu. Daripada harus ditinggalkan untuk selama-lamanya seperti ini. Jikapun disuruh memilih, Raina akan memilih Samudera membencinya namun ia bisa melihat cowok itu daripada harus ditinggal pergi selama-lamanya. Kini, wajahnya pun Raina tak bisa melihat. Didekap oleh tanah dibawah sana.

“Dia bunuh diri dulu sebelum donorin matanya ke lo. Dia nabrakin dirinya Rain karena kalau di donorin mata dalam keadaan hidup, Papa nggak akan mungkin setuju.” lirih Frella. Tangannya mengusap punggung Raina yang bergetar menahan tangis.

“Kenapa kalian sembunyiin? Apa gue nggak berhak tau tentang ini?!" ucap Raina disela-sela tangisnya.

Frella menghembuskan napas gusar. Hujan semakin turun dengan lebarnya sementara Erga dan Devin menyusul dua orang itu. Mereka berlari kencang kearah dua orang itu sambil membawa payung yang mereka curi di warung dekat kuburan.

Napas Frella tertahan ketika mendengar hal itu. Otaknya berputar mengingat kata-kata yang Samudera ucapkan. Hanya dia yang tahu rencana Samudera. Waktu itu awalnya Frella menolak tentang rencana Samudera yang ingin mendonorkan matanya kepada Raina, tentunya karena ia tidak mau kehilangan Samudera. Namun Samudera sangat keras kepala, dia mengatakan walau tanpa persetujuan siapapun dia akan tetap mendonorkan matanya. Karena, kadang cinta butuh pengorbanan.

“Jawab gue Frel!!!” bentak Raina mengguncang bahu Frella. Erga mendekat kearah Raina, memayungi wanita itu dan menenangkannya.

“Apa lo nggak mikir bakalan gimana reaksi lo kalau kita bilang bahwa pendonor mata lo itu Samudera? Lo pasti bakalan nolak Rain. Dan Samudera nggak mau itu terjadi.” lirih Frella terisak di dekapan Devin.

Frella merogoh saku celananya dan mengeluarkan sebuah amplop berwarna biru muda. Diberikannya amplop itu kepada Raina.

Sedetik setelah Frella menyodorkan amplop itu, Raina menatapnya nanar.

“Dari samudera, untuk hujan yang sempurna.”

Dengan tangan gemetar Raina mengambilnya dan membuka amplop itu. Ditariknya keluar sebuah kertas yang basah terkena air.

Bahagia dengannya. Bagi gue, terkadang melepaskan lebih baik daripada memaksa.

Tangisan Raina pecah. Di genggamnya erat kertas dengan tulisan yang hampir luntur itu. Teringat dirinya akan kenangan yang pernah ia lalui bersama Samudera. Bagaimana cowok itu menyayanginya dengan caranya sendiri.

Goodbye, Dear.

Lirih Raina dalam hati.

Kemudian ponsel yang berada di sakuya bergetar. Dengan cepat Raina mengambil benda itu kemudian menempelkannya di telinga setelah melihat siapa yang menelepon.

“Raina, Raga collapse.”

Seketika Raina membeku ditempat. Jantungnya berhenti berdetak ketika mendengar suara dokter Clara berteriak menyebut nama pengejut jantung. Dan, suara elektrokardiograf yang mulai melambat.

“Papa harap kamu tenang dul—”

Dengan cepat Raina berdiri dari sana, tidak peduli dengan ponsel yang ia buang entah kemana. Berlari tanpa peduli dengan hujan yang mengguyur.

Ia tidak akan membiarkan orang yang dicintainya pergi meninggalkan dirinya, lagi.

-----

Dengan sekali gerakan keras Raina membuka pintu kaca itu. Darahnya seketika membeku ketika melihat Raga yang masih dibantu oleh beberapa suster. Dokter Clara menggunakan defribrillator untuk memacu jantung Raga agar kembali berdetak normal.

Raina ingin berlari kearah Raga namun dengan cepat Erga menghentikan gadis itu. Air mata sudah bercucuran di pipi Raina sementara tubuhnya di dekap erat oleh Erga agar ia tidak bisa menghampiri Raga kala dokter Clara tengah berjuang keras membantu Raga.

“Raina tenang! Raga pasti selamat. Gue yakin!!!” bentak Erga kepada Raina karena cewek itu masih memberontak di dalam dekapannya. Erga semakin mengeratkan dekapannya pada Raina, takut jika Raina berlari ke arah Raga dan menganggu kerja dokter Clara.

Bukannya mendengarkan, Raina malah membangkang. Dia mencoba melepaskan tangan Erga yang mengurung tubuhnya agar tidak bisa lari kemana-mana. Sementara itu air matanya terus berjatuhan dari pelupuk kala melihat Raga dalam kondisi seperti itu. Raina sama sekali tidak mau kehilangan orang yang ia cintai, lagi. Cukup sudah Samudera yang mengorbankan hidupnya untuk Raina. Jika sampai itu terjadi, Raina sangsi dia akan bisa melanjutkan hidup ketika pelanginya tidak mewarnai hidup abunta lagi.

Seperti yang ia pikirkan tentang Samudera, lebih baik Raga membencinya daripada harus meninggalkan dirinya selama-lamanya. Cukup sudah orang-orang dicintainya mengorbankan hidupnya hanya untuk Raina yang egois. Kadang kematian lebih buruk daripada apapun. Dan Raina tidak mau itu terjadi. Ia tidak mau Raga meninggalkan dirinya sama seperti Samudera meninggalkannya. Sama sekali tidak. Sekali lagi, lebih baik Raga membencinya dan tidak mau berbicara padanya daripada Raina harus menangis atas kematian Raga.

Napas Raina tersengal. Apalagi ketika dilihatnya elektrokardiograf yang dengan perlahan menampilkan garis lurus, dan bunyi 'tit.... ' panjang nyaring terdengar. Menggema keseluruh penjuru ruangan. Raga, meninggalkannya.

Apa yang lebih buruk daripada kematian?

Hal itu lagi-lagi terbesit di benak Raina.

Pergerakan cewek itu berhenti. Ia tidak lagi memberontak. Mulutnya bungkam, tubuhnya kaku tak bisa digerakan ketika melihat layar alat pendeteksi jantung itu menampilkan garis lurus. Menandakan bahwa jantung Raga sudah berhenti berdetak. Kini tak ada lagi Raga yang bisa membuatnya tertawa ataupun membuat hatinya berdetak lebih cepat kala cowok itu menggombal. Tak ada lagi cengiran yang ditunjukkan laki-laki itu.

Alasan terakhir Raina untuk bertahan hidup kini meninggalkannya pergi.

Dengan sekali sentakan Raina terbebas dari kurungan Erga. Semua yang berada di ruangan itu tidak menyangka ini akan terjadi.

Hana menangis dalam pelukan Baron. Frella menutup bibirnya rapat-rapat menggunakan tangan dengan Devin yang menenangkan dirinya. Sementara teman-teman Raga hanya bisa mengacak rambut frustasi sambil mengusap air mata mereka yang tiba-tiba keluar dari pelupuk.

Dan Raina. Dirinya hancur. Runtuh. Retak. Tak berbekas.

“RAGA!!!!” Raina berteriak mengguncang tubuh Raga yang kaku. “Kenapa lo jahat?!! Lo tinggalin gue disaat gue rapuh!” tangis Raina pecah. Dokter Clara yang sudah membereskan alat-alat nya mendekat kearah Raina. Wanita itu juga tak kalah sedihnya dari Raina. Dia sudah berusaha berjuang sekeras mungkin agar hal buruk ini tak terjadi.

“Raga, please bangun. Gue cinta sama lo, jangan tinggalin gue Ga.” Raina semakin terisak. “Lo nggak pinter drama! Jadi jangan pura-pura mati!!!”

Dengan cepat Baron menarik Raina dari sana. Raina sempat memberontak dan kuekeuh berada di sisi bangkar.

Apa yang lebih buruk dari kematian?

A Hurt JourneyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang